JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan neraca perdagangan Indonesia sepanjang Juli 2019 mengalami defisit sebesar 63,5 juta dolar AS.
Sebagai mana diberitakan republika.co.id, secara kumulatif, defisit dagang kurun waktu Januari-Juli 2019 sebesar 1,9 miliar dolar AS. Defisit dagang terbesar Indonesia terjadi dengan Cina.
Kepala BPS Suhariyanto, menuturkan, defisit perdagangan Indonesia dengan Cina sepanjang Januari-Juli 2019 tembus US$ 11,05 miliar dolar. Angka defisit itu, melonjak US$ 720 juta dolar, dibandingkan posisi defisit periode sama tahun lalu sebesar US$ 10,33 miliar dolar.
“Defisit kita dengan Chna down sekali,” kata Suhariyanto, dalam Konferensi Pers di Jakarta, Kamis (15/8).
Lebih perinci, ia memaparkan, pada kuartal I 2019 defisit dagang Indonesia-Cina sudah mencapai US$ 5,1 miliar dolar AS. Memasuki kuartal II 2019, defisit kembali terjadi dengan nilai sebesar US$ 4,05 miliar dolar.
Adapun pada Juli lalu, defisit dagang Indonesia dan Cina sebesar US$ 1,8 miliar dolar, turun dibanding defisit pada Juli 2019 sebesar US$ 2 miliar dolar. Meski demikian, secara keseluruhan defisit dengan China tetap membengkak.
“Defisit ini lebih dalam dari tahun lalu. Ekspor kita ke Cina memang ada perkembangan, tapi impor (pemasukan barang dagangan dari Cina) lebih tinggi,” kata Suhariyanto.
Sebagai informasi, pada bulan lalu Cina menjadi negara terbesar kedua tujuan ekspor Indonesia dengan nilai sebesar US$ 469,7 miliar dolar.Sementara import barang dari Cina ke Indonesia, mencapai US$ 533,2 miliar. Secara kumulatif, Cina menjadi pangsa ekspor nonmigas terbesar dengan total nilai US$ 13,68 miliar.
Namun, dari sisi impor pada bulan lalu, nilainya tembus hingga US$ 1,5 miliar dolar. Tingginya nilai impor itu menempatkan Cina sebagai negara importir terbesar bagi Indonesia. Pangsa impor nonmigas Indonesia juga terbanyak berasal dari Cina dengan nilai hingga US$ 24,73 miliar dolar.
Adapun dari segi komoditas yang diimpor, BPS mencatat terdapat 20 komoditas harmonized system (HS) yang terdiri dari mesin dan peralatan listrik, buah-buahan, serta komoditas tambang seperti besi dan baja.
“Kita belum bisa memastikan apakah (kenaikan defisit) akibat perang dagang antara AS dan Cina atau bukan. Belum bisa kita sampaikan,” ujarnya.
Editor : Amran