BANDUNG – Sangat menarik membaca karya ilmiah Prof Owen Jones, seorang pakar bidang hukum dan biologi, dan René Marois seorang ilmuwan ahli syaraf dan psikologi.
Mereka bersama mahasiswanya yang bernama Joshua Buckholtz memindai otak subjek dengan teknik yang sangat sensitif yang disebut pencitraan resonansi magnetik fungsional atau fMRI.
Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana otak diaktifkan ketika seseorang menilai apakah seseorang harus dihukum karena tindakan berbahaya dan seberapa parah individu tersebut harus dihukum.
Terkait hal tersebut, salah seorang Dewan Penasihat Neuro Leadership Indonesia, Dede Farhan Aulawi yang dihubungi melalui saluran selulernya, Kamis ( 24/10 ) mengatakan bahwa dengan pemindai fMRI kita bisa membaca skenario di layar komputer untuk menggambarkan seseorang yang melakukan tindakan kriminal yang bisa dibilang bervariasi.
Dengan setiap skenario yang muncul, peserta menentukan seberapa parah untuk menghukum protagonis skenario pada skala 0 (tidak ada hukuman) hingga sembilan (hukuman ekstrem).
“Terkadang ada keadaan khusus atau informasi latar belakang tentang mengapa orang itu bertindak seperti dia. Apakah dia dipaksa? Apakah dia merasa terancam? Apakah dia sakit jiwa?,” Ujar Dede.
” Intinya, mencari aktivitas otak yang mencerminkan bagaimana orang-orang beralasan tentang perbedaan dalam skenario,” kata Dede, menegaskan.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa para peneliti menemukan bahwa aktivitas di bagian analitik otak, yang dikenal sebagai korteks prefrontal dorsolateral, melacak keputusan apakah seseorang pantas dihukum atau tidak, tetapi yang menarik tampaknya relatif untuk memutuskan berapa banyak untuk dihukum. Sebaliknya, aktivitas di daerah otak yang terlibat dalam pemrosesan emosi, seperti amigdala, melacak berapa banyak subjek yang memutuskan untuk menghukum.
“Hasil ini meningkatkan kemungkinan bahwa respons emosional terhadap tindakan kriminal dapat menjadi tolok ukur untuk menilai hukuman yang layak. Jadi sangat menarik ketika kita mengkaji perilaku kriminal dan hukuman yang pantas diberikan bagi pelakunya berdasarkan pendekatan ilmu neurosains ini. Memang tidak mudah dalam mempelajarinya karena diperlukan pengetahuan dan wawasan yang luas di bidang hukum dan sistem syaraf manusia. Tapi yang jelas, sekali lagi sangat menarik untuk dipelajari agar penegakan hukum bisa dilakukan secara lebih berkeadilan “, jelas Dede mengakhiri pembicaraan. (hendri)
Redaksi : Hendri