“Pemimpin dan Penasihat Negara Myanmar Daw Aung San Suu kyi akan menghadiri (sidang) kasus Genosida Rohingya di Mahkamah Internasional—dorongan semangat untuk putusan yang baik dan semoga berhasil!,” bunyi tweet-nya via akun @RonenGilor sebelum dihapus.
Pada hari Rabu, diplomat itu juga men-tweet foto dirinya dengan pejabat parlemen Myanmar, dan mencatat bahwa masalah tersebut muncul dalam percakapan dan sekali lagi dia menekankan harapannya bahwa para pemimpin Myanmar berhasil.
Mengutip Haaretz, Kamis (28/11/2019), Kementerian Luar Negeri Israel enggan menanggapi dukungan yang disuarakan Dubes Gilor.
Bulan ini, Penasihat Negara Myanmar Daw Aung San Suu Kyi mengumumkan bahwa ia akan mengepalai tim hukum untuk dikirim ke Mahkamah Internasional. Pengumuman ini di-posting di halaman Facebook Suu Kyi, seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang juga memegang peran Menteri Luar Negeri.
Myanmar telah dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan dan membakar rumah-rumah dalam operasinya untuk menekan minoritas Muslim Rohingya di wilayah barat negara itu pada Agustus 2017.
Operasi militer itu sebagai respons atas serangan milisi pemberontak Rohingya terhadap tentara Myanmar. Selama operasi militer, tentara memaksa sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke negara Bangladesh.
Gugatan ke Mahkamah Internasional diajukan oleh Gambia atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pada saat pengajuan, Menteri Kehakiman yang juga Jaksa Agung Gambia, Abubacarr Marie Tambadou, mengatakan dia ingin mengirim pesan yang jelas ke Myanmar dan kepada seluruh komunitas internasional.
“Bahwa dunia tidak boleh berdiri dan tidak melakukan apa pun di depan kekejaman mengerikan yang terjadi di sekitar kita. Sangat memalukan bagi generasi kita bahwa kita tidak melakukan apa-apa saat genosida berlangsung tepat di depan mata kita sendiri,” katanya.
Kepala misi pencarian fakta PBB untuk Myanmar mengatakan bulan lalu ada bahaya besar bahwa tindakan genosida tambahan akan dilakukan. Sebuah laporan yang dikeluarkan pada bulan September oleh misi PBB menyatakan bahwa Myanmar harus dimintai pertanggungjawaban atas genosida Rohingya.
Sementara itu, Myanmar telah menolak tuduhan bahwa mereka bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia yang terorganisir.
Sekadar diketahui, Israel menjual senjata kepada Myanmar bahkan setelah tuduhan genosida Rohingya oleh rezim setempat muncul. Sejak krisis Rohingya jadi sorotan dunia, Myanmar dimasukkan dalam daftar negara yang dikenai embargo senjata oleh Uni Eropa. Amerika Serikat juga mengeluarkan sanksi atas penjualan senjata kepada negara ASEAN tersebut.
Pada bulan September 2017, Pengadilan Tinggi Israel memutuskan untuk memproses petisi yang diajukan oleh pengacara Israel Etay Mack terhadap penjualan senjata ke Myanmar. Namun, putusan tersebut tetap dirahasiakan.
Sejak itu, Israel bersikeras untuk menghentikan penjualan senjata ke Myamar. Namun demikian, perwakilan dari Myanmar kemudian terlihat oleh Haaretz hadir di sebuah pameran senjata di Israel. Kementerian Luar Negeri Israel kemudian mengumumkan bahwa mereka telah menghalangi kunjungan para pejabat Myanmar ke negara Yahudi itu untuk menghadiri pameran senjata.
Namun, di luar masalah penjualan senjata, hubungan antara Myanmar dan Israel berlanjut pada sejumlah level sipil. Haaretz melaporkan pada Mei 2018, misalnya, bahwa Israel telah menandatangani perjanjian kerja sama pendidikan dengan Myanmar yang mencakup materi kurikulum tentang pelajaran Holocaust dan perang melawan rasisme.
Menanggapi petisi yang diajukan oleh Etay Mack, pemerintah Israel baru-baru ini mengatakan bahwa pihaknya tidak melaksanakan perjanjian kerja sama pendidikan. (sumber : sindonews.com)
Redaksi : Amran