Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Semua orang tentu ingin hidup bahagia dan sejahtera. Akan tetapi kalau ditanya rumus atau definisi bahagia kepada mereka, maka jelas jawabannya berbeda-beda. Ada orang yang mengatakan, bahwa bahagia itu adalah jika mereka memiliki harta yang cukup, adanya rasa aman dalam kehidupan dan lain sebagainya.
Ada pula yang mengatakan, bahwa bahagia terletak pada suasana hati. Artinya adalah, bahwa kalaupun tidak ada harta benda, tapi kalau hati senang dan lapang dengan kehidupan yang dijalani, maka itulah bahagia.
Jawaban-jawaban di atas tentu tidaklah bisa disalahkan, sebab sampai saat ini kenya-taannya belum ada satupun rumus atau definisi bahagia yang disepakati. Lalu bagaimana bahagia yang sebenarnya menurut Al-Quran ?.
Orang boleh tidak setuju, bahwa sebenarnya syarat utama untuk hidup bahagia adalah dengan terpenuhinya kebutuhan makanan; pakaian dan tempat tinggal yang seringkali disebutkan sebagai sandang; pangan dan papan. Dan berikutnya adalah lingkungan yang aman dan damai. Hal ini adalah gambaran yang diberikan Allah SWT di dalam Kitab-Nya (Al-Quran) melalui (sebahagian) konsep hidup bahagia yang dijelaskan-Nya kepada Nabi Adam a.s (bersama isterinya Hawa), tatkala keduanya ditempatkan di dalam surga.
Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: “Maka Kami (Allah) berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.//Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.//Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Q.S.Tha-Haa: 117-119)
Dalam ayat di atas tersirat gambaran, bahwa Allah SWT menyatakan kepada Adam a.s, bahwa mereka akan hidup bahagia di dalam surga dengan cukup makanan; pakaian yang cukup serta surga itulah rumah mereka. Oleh sebab itu kepada Adam diperintahkan agar waspada terhadap tipu daya Iblis laknatullah, agar mereka tidak terusir dari surga (tidak punya rumah) dan sekaligus akan hidup menderita tanpa makanan dan pakaian yang memadai. Dan kenyataannya tatkala keduanya (Adam dan Hawa) terbujuk rayuan Iblis laknatullah dan diusir dari surga, maka selama beberapa kurun waktu mereka hidup terlunta-lunta, satu sama lain berpisah, berkelana tanpa tempat tinggal; pakaian dan pakaian yang memadai. Jadi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa syarat pertama untuk mendapatkan kebahagiaan hidup tentulah harus ada makanan; pakaian dan rumah tempat tinggal. Persoalannya adalah; berapa banyak “harta” atau berapa banyak makanan; pakaian dan rumah yang dibutuhkan seseorang untuk kebutuhan hidupnya.
Al-Quran memang tidak membuat ukuran dalam skala ukuran tertentu, seberapa banyak kebutuhan harta yang layak, yang harus dimiliki seseorang agar hidupnya bahagia. Akan tetapi Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkannya dalam batas yang fleksibel, sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Perhatikan firman Alah SWT berikut ini: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raaf: 31)
“Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 60)
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa tidak ada batasan dalam ukuran atau jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya untuk mencari atau memiliki harta. Allah hanya menetapkan dua hal; Pertama tidak berlebih-lebihan dalam hal memiliki harta, dan yang kedua dalam hal mencari atau mendapatkannya tidak dengan cara berbuat kerusakan, atau dengan kata lain jangan menghalalkan segala cara.
Seseorang yang memiliki harta secara berlebih-lebihan dapat dipastikan hidupnya tidak akan pernah merasa bahagia. Sebab bagaimanapun juga akan tumbuh di dalam dirinya rasa takut; cemas dan kekhawatiran terhadap kemungkinan hilang atau lenyapnya harta yang ia miliki. Terlebih-lebih lagi jika harta tersebut diperolehnya dengan cara yang tidak halal, dengan merusak aturan atau ketentuan kehidupan yang berlaku; Baik aturan Allah SWT maupun aturan muamalah antar sesama. Sehingga pada akhirnya rasa hidup yang aman; tenteram dan nyaman yang didambakan tidak akan pernah ia rasakan.
Jadi kesimpulannya adalah, bahwa untuk hidup bahagia memang diperlukan harta benda serta suasana yang damai; sejahtera dan aman tenteram. Akan tetapi hal itu baru bisa didapatkan, jika kepemilikan harta benda sesuai dengan kebutuhan dan diperoleh dengan cara-cara yang dihalalkan Allah SWT.
Namun demikian kesemuanya itu tidak akan berarti apa-apa kalau hidup tidak diisi dengan “dzikrullah” atau senantiasa ingat dan mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk-bentuk ibadah; Baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Sebab bagaimanapun juga, hanya dengan mengingat Allah sajalah hati dan kehidupan menjadi tenang sebagaimana firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d: 28) –Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 9 Sya’ban 1439 H / 25 April 2018.(Redaksi)