Oleh KH.Bactiar Achmad
=====================
Sering kita mendengar orang berkata, agar kita melakukan segala sesuatunya secara berimbang antara kepentingan hidup di dunia dan di akhirat kelak.Lalu bagaimana caranya kita berbuat supaya kehidupan yang kita jalani ini dapat seimbang antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka “hujjatul Islam” Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali dalam “Al-Ihya’” menyarankan, agar waktu kehidupan yang kita lalui di dunia ini dibagi dalam tiga bagian, masing-masing sepertiga untuk penghidupan dunia; sepertiga untuk beramal ibadah dan sepertiganya lagi untuk beristirahat. Akan tetapi dalam “prakteknya” hal ini tentulah sangat sulit untuk dilakukan.
Sehingga dengan demikian “balans” atau keseimbangan hidup untuk kepentingan dunia dan akhirat tersebut adalah sesuatu yang sangat “musykil”; atau hal yang sangat sulit untuk dilakukan oleh seseorang. Bahkan ada yang berpendapat, “tidak akan pernah ada keseimbangan amaliah untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat.”
Artinya adalah; Jika kita menginginkan dunia, maka akhirat pasti akan kalah. Dan ketidak seimbangan itu terjadi lantaran di dalam diri manusia (nafsunya) telah Allah tanamkan kecenderungan yang besar pada kecintaan mereka terhadap dunia sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali Imran: 14)
Dan “kecenderungan” yang demikian itulah yang menyebabkan Nabi Sulaiman a.s pernah lalai dari mengingat Allah lantaran tergoda kesenangan dunia (kecintaan kepada kuda), sehingga untuk menebus kesalahannya itu Nabi Sulaiman a.s lalu menyembelih kudanya.
Hal ini dijelaskan Allah SWT dengan firman-Nya: “dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman; dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). // (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore. // Maka ia (Sulaiman) berkata:
“Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. // Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.”; lalu ia (Sulaiman) memotong kaki dan (menyembelih) leher kuda itu.” (Q.S. Shaad: 30-33)
Sekarang coba anda jawab dengan jujur pertanyaan ini: “Ketika anda memperoleh rizqi (baik halal atau haram) semisal uang Rp.100 juta; Apakah anda mau membaginya 50% untuk kepentingan pribadi dan yang 50% lagi disumbangkan kepada fakir miskin atau untuk amaliah lainnya?”
Contoh lainnya bisa juga kita lihat melalui fenomena lainnya yang ada di sekitar kita, bahwa seseorang lebih suka berlama-lama di
depan TV; atau ngobrol bareng teman ketimbang duduk agak lama untuk “dzikrullah” seusai sholat.
Bahkan dilihat dari tata cara yang dilakukan, ada yang menjadikan sholat-nya hanya sekadar untuk melepaskan kewajibannya kepada Allah, bukan sebagai sarana dan prasarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.
Begitu juga dengan kasus-kasus lainnya yang semisal dengan hal itu. Lalu kalau sudah demikian adanya, apa mungkin diperoleh keseimbangan antara usaha duniawi dan amaliah untuk akhirat?
Jadi jika kita memang menginginkan kehidupan akhirat yang baik, maka suka atau tidak suka; kepentingan diri terhadap dunia haruslah dikalahkan sebagaimana yang tersirat dalam “Kisah Nabi Sulaiman a.s” di atas; atau sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan beliau, yang kemudian di-ikuti pula oleh para sahabat-sahabat beliau dan para ulama-ulama terdahulu.
Akan tetapi walau demikian patutlah diperhatikan, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi peringatan dan penekanan; Bahwa sebenarnya kehidupan akhirat itu jauh lebih wajib diutamakan ketimbang kehidupan dunia.
Dan oleh karenanya masalah “seimbangnya” usaha kita untuk kehidupan dunia dan akhirat tersebut boleh jadi hanyalah semacam pemikiran yang absurd. Atau sesuatu yang tak mungkin bisa diterima oleh akal sehat orang yang benar-benar yakin akan adanya kehidupan akhirat sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala:
“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (Q.S. At-Taubah: 38)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa merahmati kita dengan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang menyenangkan. Wallahua’lam.
Jakarta, 15 Syawal 1439 H / 29 Juni 2018