oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Langsung atau tidak, dalam menjalani kehidupan ini kita butuh “keteladanan” atau orang yang patut dijadikan sebagai panutan dalam melakukan kebajikan. Dan oleh sebab itulah Allah menyatakan di dalam Kitab-Nya, bahwa panutan atau suri teladan yang wajib kita contohi adalah Rasulullah SAW sebagaimana Firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Namun demikian, kita juga bisa memilih dan memilah “hamba-hamba” Allah yang lainnya untuk dijadikan sebagai teladan, terutama dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah SAW; para ulama dari kalangan tabi’in (yang pernah bertemu dengan para sahabat- Rasulullah SAW; generasi berikutnya yang disebut sebagai tabi’it-tabi’in dan para ulama dari generasi yang berikutnya, hingga sampai kepada masa kita sekarang ini, yakni orang-orang shalih yang telah menghabiskan umur mereka untuk kebaikan, untuk tetap berada di jalan Allah.
Sebab bagaimanapun juga, akhlak mereka yang mulia adalah cerminan dari “akhlaqul kariimah” yang mereka teladani yang bersumber dari diri dan pribadi Rasulullah SAW.
Selanjutnya berkaitan dengan keteladanan tersebut, ada 2(dua) golongan manusia yang Allah sebutkan sebagai orang yang tidak layak untuk dijadikan sebagai panutan hidup. Sekalipun secara lahiriah mereka adalah orang-orang “yang hebat”; memiliki banyak “fans” atau penggemar.
Pertama; Orang yang hatinya telah dilalaikan dari mengingat Allah.
Kedua golongan tersebut Allah nyatakan dalam Firman-Nya: “dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)
Dalam Risalah Tafsir Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan, bahwa golongan ini secara lahiriah bisa jadi selalu bicara dan membicarakan Allah beserta hukum-hukum-Nya; tapi secara ruhaniah atau keadaan hatinya malah selalu lalai dan lupa mengingat Allah.
Artinya adalah, bahwa mereka ini adalah orang-orang munafik yang hanya pandai bicara tentang kebaikan, tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukannya. Bahkan yang lebih parah lagi; baik secara diam-diam maupun terang-terangan selalu mengerjakan apa yang dilarang Allah demi keuntungan dan kesenangan dirinya.
Dan mereka inilah yang disebut-sebut Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka; dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia.
Dan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Q.S. An-Nisaa’: 142)
Pada akhirnya orang-orang semacam ini, bukannya mendapat hidayah atau tuntunan hidup dari Allah, melainkan syaitan jualah yang menyertai mereka; dimana saja mereka berada dan menuntun mereka melakukan apa saja yang mereka perbuat sebagaimana yang dinyatakan Allah dengan firman-Nya:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan); maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Q.S. Az-Zukhruf: 36)
Golongan kedua yang tidak layak dan sangat buruk untuk kita ikuti dan teladani adalah; Orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya demi mendapatkan kepuasan dan kesenangan dirinya.
Menurut Abdullah Al-Ghazali golongan ini ada dua kelompok; yang pertama adalah orang-orang yang telah disebutkan dalam golongan pertama di atas, yakni orang-orang yang hatinya lalai dari Allah dan hanya mengikuti kehendak nafsunya saja, walaupun secara lahiriah mereka selalu membicarakan dan ingat kepada Allah SWT. Sedangkan kelompok yang kedua adalah, mereka-mereka yang benar-benar memperturutkan hawa nafsunya dan sama sekali tidak ingat dan tidak mau mengingat Allah sedikitpun.
Dan mereka-mereka inilah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?# Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S. Al-Furqaan: 43-44)
Sedangkan dalam ayat yang lain, Allah SWT menyebut mereka dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah); mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raaf: 179)
Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa dalam golongan yang ketiga ini, selain terdiri dari orang yang sudah dimasukkan ke dalam dua golongan sebelumnya, maka dalam golongan ini juga dimasukkan orang-orang yang sebenarnya selalu melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hanya saja ada di antara mereka yang melakukan itu semata-mata hanya bersifat riya’ atau merasa bangga (ujub) pada amal perbuatan yang dilakukannya; sehingga kesannya tampak sangat berlebih-lebihan serta tak sedikit pula yang menyiarkan kebajikan-kebajikan yang telah mereka perbuat kepada orang lain demi mengejar popularitas dan mendapatkan imbalan dari apa yang mereka perbuat.
Inilah beberapa jenis atau golongan manusia yang tidak layak dan sangat buruk untuk kita teladani; sekalipun suatu sa’at anda melihat orang-orang yang masuk dalam golongan ini sangat populer dan disegani oleh orang lain.
Sebab bagaimanapun, yang pantas untuk kita teladani adalah mereka-mereka yang memiliki akhlak atau budi pekerti yang mulia, sebagaimana mereka mencontoh dan meneladani akhlak Rasulullah SAW. Bukan orang-orang yang sukses dalam kehidupan dunianya, tapi mengabaikan akhiratnya dengan berbagai macam “indikasi” atau tanda-tanda buruk yang mereka lakukan di balik kebajikan-kebajikan yang mereka lakukan. Wallahua’lam.
Jakarta, 22 Syawal 1439 H / 6 Juli 2018