SumatraTimes.co.id – Peristiwa tragis kematian warga kulit hitam George Floyd (46) pada (25/5) lalu tiba-tiba merembet menjadi aksi kerusuhan di Amerika Serikat.
Setidaknya aksi unjuk rasa terjadi di empat negara bagian di Negeri Paman Sam; Minnesota, Atlanta, California, dan Washington.
Bahkan, di Kota Minneapolis aksi unjuk rasa berujung ke penjarahan. Stasiun berita Fox 9 News pada (28/5) lalu mengabadikan peristiwa yang menunjukkan pasar swalayan Target dijarah selama aksi demonstrasi memprotes kematian Floyd.
Bahkan, ada pula toko-toko yang dibakar yang berlokasi tak jauh dari kantor polisi Minneapolis.
Otoritas setempat sampai kewalahan menghadapi aksi unjuk rasa berujung ricuh di beberapa negara bagian. Gubernur California Gavin Newsom akhirnya memberikan restu untuk menurunkan pasukan pengamanan nasional karena aksi unjuk rasa di sana sudah tak lagi bisa dibendung.
Aksi unjuk rasa sudah memasuki hari keenam di Negeri Paman Sam dan tidak ada tanda-tanda akan mereda.
Pertanyaan kemudian muncul mengapa kematian Floyd berujung pada aksi kericuhan di Negeri Paman Sam?
Apalagi negara adidaya itu kini tengah dihadapi permasalahan besar lainnya yakni pandemik COVID-19.
AS masih bertengger diperingkat pertama sebagai negara yang menyumbangkan angka kematian akibat COVID-19. Berdasarkan data dari situs World O Meter pada Minggu (31/5) menunjukkan angka kematian di AS mencapai 105.575.
Seorang warga Longfellow, area yang dekat dengan Minnesota, bernama Nuwman menduga aksi unjuk rasa di beberapa negara bagian di AS, semata-mata bukan karena kematian Floyd.
Perlakuan polisi terhadap komunitas kulit hitam di AS, kata Nuwman, menjadi penyebab utama unjuk rasa itu terjadi. Kematian Floyd menjadi pemicu rasa kesal warga kulit hitam di sana.
“Ini (terjadi) setiap hari. Setiap hari polisi-polisi ini memberlakukan protokol yang memicu terjadinya peristiwa ini,” kata ayah berusia 28 tahun itu kepada stasiun berita BBC.
“Ini bukan dipicu oleh satu peristiwa. Ini merupakan bencana, sebuah kombinasi dari apa yang terjadi sebelumnya,” tutur dia lagi.
Lalu, apa langkah yang ditempuh oleh otoritas setempat untuk meredakan aksi unjuk rasa?
1. Pembunuhan terhadap George Floyd menegaskan perlakuan rasisme masih terjadi di AS.
Petugas polisi yang membunuh George Floyd, Derek Chauvin sudah dipecat dari posisinya. Ia juga sudah ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan dengan ancaman penjara 25 tahun.
Tetapi, proses hukum tersebut tetap tidak membuat massa puas. Unjuk rasa tetap terjadi dan meluas ke negara bagian lainnya. Mereka menilai peristiwa semacam ini terus berulang dari tahun ke tahun.
Dalam catatan BBC, setidaknya ada tiga peristiwa pembunuhan yang melibatkan polisi di negara bagian Minnesota dan dinilai semena-mena.
Pertama, tahun 2015 penembakan terhadap pria berusia 24 tahun, Jamar Clark. Ia ditembak oleh polisi karena menurut keterangan, Clark coba merebut senjata yang digunakan oleh otoritas berwenang. Polisi terpaksa mengambil keputusan untuk menembak di tempat.
Pada tahun 2016 lalu, polisi yang menembak mati Clark tidak dikenakan dakwaan apapun, lantaran ia berhasil membuktikan pria 24 tahun itu ditembak tidak dalam keadaan diborgol.
Keputusan jaksa itu bertentangan dengan keterangan saksi di lokasi yang menyebut Clark ditembak dalam keadaan tangan diborgol dan tidak melawan petugas kepolisian.
Kedua, polisi menembak mati Philando Castile pada tahun 2016 lalu. Castile ditembak mati oleh polisi ketika mobilnya diminta untuk berhenti di pinggir jalan. Polisi meminta agar Castile menunjukkan dokumen berupa SIM dan kartu identitas.
Alih-alih berakhir damai, Castile justru ditembak dengan alasan, polisi menduganya akan mengambil senjata dan menembak otoritas setempat.
Petugas kepolisian yang menembaknya dan dijadikan terdakwa adalah Jeronimo Yanez. Tetapi, dalam sidang putusan tahun 2017 lalu, Yanez dinyatakan juri tidak bersalah.
Pembunuhan yang menimpa Floyd dianggap merupakan kelanjutan dari kisah-kisah serupa di masa lalu.
Bahkan, ada seorang warga Minneapolis yang menuliskan di akun media sosialnya dengan huruf besar “kita seharusnya membakar kota ini demi Philando Castile”.
2. Terjadi segregasi yang besar antara warga kulit putih dan hitam di negara bagian Minnesota
Minneapolis, ibu kota negara bagian Minnesota, merupakan area yang makmur dan mempraktikan kebijakan yang cukup demokratis.
Tetapi, selama bertahun-tahun di sana terjadi segregasi dalam hal ekonomi antara warga kulit putih dan hitam. Stasiun berita BBC menyebutnya “paradoks Minnesota”.
Mereka tinggal di area yang berbeda. Mayoritas warga kulit putih AS tinggal di Minneapolis. Sedangkan, warga kulit hitam sebagian besar bermukim di kota tetangganya yakni St Paul.
Perpecahan sesungguhnya sudah terjadi sejak di awal abad 20 lalu. Ketika itu warga kulit hitam dilarang membeli rumah di beberapa area. Bahkan, pada tahun 1960an, pemerintah negara bagian Minnesota membangun sebuah jalan tol lebar yang membabat habis pemukiman komunitas kulit hitam yang dikenal dengan nama Rondo di Kota St Paul.
Menurut kajian yang dilakukan pada 2018 lalu menunjukkan warga kulit hitam yang memiliki rumah di Kota St Paul tergolong rendah. Bahkan, sebelum terjadi pandemik COVID-19, jumlah warga kulit hitam yang kehilangan pekerjaan jauh lebih tinggi dibanding warga kulit putih.
Data menunjukkan 10 persen warga kulit hitam dipecat karena berbagai alasan. Sedangkan, warga kulit hitam yang dipecat hanya 4 persen. Pada 2016 lalu, warga kulit putih bisa menghasilkan uang per tahunnya lebih banyak yakni sekitar US$76 ribu. Bandingkan dengan warga kulit hitam yang per tahunnya hanya bisa menghasilkan US$32 ribu. Maka, tak heran di Kota St Paul, lebih banyak warga kulit hitam yang berada di bawah garis kemiskinan.
3. Gubernur Minnesota Tim Walz memohon kepada warga untuk tenang dan mengakhiri unjuk rasa
Tak ingin kondisi kotanya berlarut-larut ricuh, Gubernur negara bagian Minnesota, Tim Walz, turun tangan dan memberikan pidatonya secara nasional. Ia memohon kepada warga di Kota Minneapolis agar tetap tenang dan diam di rumah.
“Warga Minnesota kalian harus tetap berada di rumah malam ini. Jangan keluar, jangan berjalan-jalan, jangan menyetir,” ungkap Walz seperti dikutip harian lokal, Startribune pada (30/5) lalu.
Peringatan itu disampaikan oleh Walz delapan jam usai pasukan garda nasional Minnesota dikerahkan untuk melawan pihak-pihak tertentu yang sengaja memprovokasi aksi unjuk rasa kematian George Floyd.
Sebagian dari mereka, diduga berasal dari luar negara bagian Minnesota. Mereka kemudian turun ke jalan-jalan dan melakukan penjarahan serta pembakaran.
Tercatat ada 700 pasukan garda nasional yang dikerahkan. Ini merupakan pasukan keamanan terbanyak yang terjadi di Minnesota sejak perang dunia ke II.
“Kota-kota kita Minneapolis dan St. Paul sedang diserang,” tutur dia lagi.
Menurut Walz, aksi kericuhan itu sudah direncanakan sebelumnya dan bertujuan untuk mengganggu keamanan di Minneapolis.
4. Otoritas di Minneapolis telah menahan 40 orang karena melakukan penjarahan dan perusakan
Untuk membuat negara bagian Minnesota kembali kondusif, Gubernur Walz kemudian memberlakukan jam malam yang dimulai pada (30/5) pukul 20:00 waktu setempat hingga (31/5) pukul 06:00 waktu setempat.
Sejauh ini, otoritas berwenang sudah berhasil menahan 40 orang yang terlibat dalam aksi perusakan properti dan penjarahan. Data dari harian Startribune menunjukkan orang-orang yang ditangkap merupakan tahanan dari beberapa negara bagian antara lain Alaska, Florida, Michigan, Missouri, dan Illinois. Gubernur Walz menjanjikan rasa aman dan keselamatan sudah bisa dirasakan oleh warga Minnesota pada Sabtu malam.***
Sumber: IND Times
Editor: amran