Riau, memiliki cita-cita yang besar. Cita-cita itu tergambar pada Visi Riau 2020. Cita-cita itu dipertegas pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau Nomor 36 Tahun 2001.
Visi Riau 2020 itu “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Bathin, di Asia Tenggara Tahun 2020”.
Tahun ini, di Tahun 2020 ini, Visi Riau 2020 berakhir. Cita-cita Provinsi Riau di dalam Visi Riau 2020 itu belum terujud. Pemprov Riau pun memperpanjang Visi Riau 2020 sampai 2025.
Perpanjangan Visi Riau disampaikan mantan Gubernur Riau H Arsyadjuliandi Rachman, Senin, 23 Mei 2016, saat memimpin rapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Riau 2005-2025, di Hotel Aryaduta, Kota Pekanbaru.
Melihat perkembangan Provinsi Riau dewasa ini, cita-cita itu memang belum terwujud. Misalkan pada visi menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.
Penggunaan Bahasa Melayu, belum menjadi bahasa pengantar ke dua, setelah Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu masih kalah pamor dengan bahasa Minang, yang menjadi bahasa pasaran di Kota Pekanbaru, serta bahasa Jawa di desa-desa pemukiman masyarakat Jawa di Riau, serta bahasa Banjar di Kota Tembilahan, Inhil.
Itu dari sisi bahasa. Dari sisi cultur budaya, misal di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), para wisatawan, dan Pemda, lebih tertarik pada Ritual Bakar Tongkang, Cheng Beng (ritual sembahyang arwah), Cap Go Meh, Imlek, dan pawai lampion.
Bahkan untuk memperlancar ivent Bakar Tongkang, Pemda Rohil, Pemprov Riau, bahkan pemerintah pusat, ridho mengelontorkan anggaran ratusan, bahkan sampai miliaran rupiah tiap tahun mensukseskan tradisi religi, yang dibungkus wisata itu.
Sementara, seni dan budaya lokal terabaikan. Terasa tak adil, melihat budaya lokal tak terperhatikan dengan serius.
Dewan Kesenian Daerah (DKD) Rohil, akhir-akhir ini, beberapa bulan belakangan ini, mungkin disebabkan wabah corona virus. tak ada lagi mengelar acara kesenian mingguan.
Tak diketahui berapa besar anggaran untuk Dewan Kesenian Rohil. Meski kerap mengadakan pertunjukan kesenian secara mingguan, mungkin dengan sokongan anggaran miliaran, pementasan kesenian masih berskala kecil, dan tak menunjukan keagungan dari budaya Melayu.
Sanggar seni di sekolah nyaris tak terperhatikan oleh Dewan Kesenian Rohil, dan dinas yang mengurus kebudayaan. Tak ada pula pementasan seni budaya Melayu, terutama kalangan pelajar secara lebih megah. LAMR Rohil juga tak banyak menunjukkan perhatian kepada perkembangan budaya dan adat-istiadat Melayu. Terkesan LAMR Rohil, setakat sebagi menyambut tetamu.
Sehingga wajar jika upaya mewariskan seni dan budaya lokal tak menunjukan perkembangan, tak meresap dikalangan generasi muda pelajar, terutama mereka yang orang Melayu, yang seharusnya sebagai pewaris budayanya.
Para penari persembahan Melayu tak lagi banyak ditarikan para bujang dan dare asli Melayu. Ini tak hanya disebabkan semakin langkanya orang Melayu, yang mau mewarisi cultur budayanya.
Dibidang struktur bangunan bercorak Budaya Melayu kini juga tak lagi menarik. Di Rohil, struktur bangunan, terutama milik pemerintah, mulai tak lagi bercirikan selembayung, ikon arsitektut Melayu yang bercorak ukiran.
Bangunan kantor, dan gedung pemerintah, dan rumah dinas di Rohil, kini berganti bercirikan kubah, menyesuaikan dengan julukan Rohil sebagai Negeri Seribu Kubah. Bahkan bangunan kantor kecamatan, kelurahan dan kepenghuluan, enggan mencantum selembayung Melayu pada bangunan.
Saya tak tau secara pasti ‘sejarah’ pemberian julukan Negeri Seribu Kubah. Tapi saya pernah mendengar pernyataan mantan Bupati Rohil H Annas Mamun, bahwa julukan Negeri Seribu Kubah diberikan oleh salah seorang mantan Menteri Agama RI saat berkunjung ke Rohil.
Dan kini, banyak bangunan baru milik pemerintah ‘melenyapkan’ arsitektur selembayung. Berganti dengan kubah, yang berasal dari kebudayaan helenisme.
Jelas berbeda artinya kubah di atas bangunan dan kubah di atas masjid, meski kubah tersebut bukan produk asli kebudayaan Islam.
Pergeseran dari selembayung ke kubah, dapat dilihat pada struktur bangunan Kantor Bupati Rohil di kawasan pusat pemerintahan Pemkab Rohil di Batu Enam. Pilar-pilar bercirikan kebudayaan helenistik plus kubah besar di atas gedung bercat putih itu, tak ada secuil pun bercirikan arsitektur Melayu.
Gedung DPRD Rohil yang baru juga sama. Begitu juga Kantor Bappeda, Disdikbud, Perkim, Dinas KPP, Disduk Capil, Dinas Perikanan, Dinkeas, Dinas Pariwisata dan lainnya, juga ikut meniadakan ciri arsitektur bangunan Melayu.
Tak hanya bangunan pemerintah, rumah dinas, bangunan yang ditempati swasta juga ‘enggan’ pula bercirikan arsitektur Melayu.
Bank Riau Kepri Capem Bagansiapiapi di Jalan Pahlawan, tak tampak mengunakan arsitektur selembayung di gedungnya. Mess Pemkab Rohil juga tidak bercirikan selembayung.
Begitu juga Bank BNI Capem Bagansiapiapi, Bank BRI Capem Bagansiapiapi, serta Bank Rohil, yang merupakan bank plat merah milik Pemkab Rohil juga tak mengusung arsitektur selembayung.
Puskesmas-puskesmas baru yang dibangun juga nyaris tak bercirikan arsitektur Melayu, berganti dengan kubah. Begitu juga bangunan sekolah baru dibangun dengan mengusung kubah.
Meski demikian, beberapa bangunan bercorak selembayung Melayu masih dapat dilihat dan terpelihara. Rumah-rumah milik pribadi juga masih ada yang bercorak Melayu.
Seperti Gedung Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Rohil di Batu Enam, Museum Rohil, Gedung Nasional H Misran Rais, Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), dan Kantor DPMPTSP Pemkab Rohil, diantara gedung pemerintah yang masih lengket selembayung di atas atapnya. Beberapa diantaranya sudah bertahun-tahun patah, dan tak direvitalisasi.
Tapi ada pula bangunan yang mengabungkan arsitektur selembayung dengan kubah, seperti RSUD dr Pratomo Bagansiapiapi, dan Dinas LH Rohil, meski selembayung yang dipasang di atap, di atas pintu masuk tidak lengkap.
Kenapa ini terjadi? Ini bisa disebabkan budaya Melayu tak populer, ditambah pula dengan mayoritas penduduk non Melayu, beda kebudayaan.
Kemudian aparatur yang juga mayoritas non Melayu. Ditambah pula dengan ouforia Negeri Seribu Kubah, maka semakin sirna arsitektur dan Budaya Melayu.
Berbagai perubahan ini menunjukan perubahan yang tidak sesuai dengan Visi Riau, bahkan Visi Rohil.
Kini untuk mengembalikan selembayung di atapnya, ada pada Pemda, dan semoga Kebudaya Melayu Tak Hilang di Bumi. ***
Ditulis Oleh: Amran S.Sos
*Penulis adalah Wakil Ketua PWI Rohil dan Pimred SumatraTimes.co.id