SumatraTimes.co.id – Media pemerintah China, Global Times, menyentil Indonesia karena menolak klaim maritim Beijing atas Laut Natuna, yng diiklaim mereka sebagai laut china selatan
Misi tetap Indonesia untuk PBB telah mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada bulan Mei 2020. Dalam suratnya, diplomat tersebut mengingatkan PBB bahwa klaim Beijing atas Laut Natuna Utara tidak memiliki dasar hukum internasional dan melawan Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Posisi Indonesia terkait sengketa maritim atas Laut Natuna Utara sangat jelas, yakni semua sengketa harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak terlibat sengketa wilayah laut yang di kalim china, yang mereka sebut sebgai Laut China Selatan. Namun, bersitegang dengan Beijing ketika kapal-kapal penangkap ikan dan coast guard china muncul di perairan Laut Natuna Utara di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Global Times, dalam laporannya Selasa (4/8/2020), mengatakan China tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna. Beijing, lanjut laporan itu, memiliki klaim yang tumpang tindih hanya pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) milik Indonesia.
Media pemerintah komunis tersebut menguraikan beberapa alasan mengapa Indonesia bersikap seperti itu. Pertama, Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah epidemi Covid-19.
“Pemotongan anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara itu di Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna,” lanjut laporan Global Times.
Indonesia telah mengumumkan akan memangkas anggaran pertahanannya tahun ini hampir USD588 juta karena Covid-19. Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi pelayaran, patroli, dan latihan militer Angkatan Laut Indonesia.
“Sistem militer dan kepolisian Indonesia khawatir bahwa negara tersebut akan kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut,” lanjut laporan media China.
Karena itu alasan itu, menurut Global Times, sejak paruh kedua 2019 Indonesia tetap fokus pada masalah Laut China Selatan. Presiden Indonesia Joko Widodo dan pejabat militer tingkat tinggi telah berulang kali pergi ke Kepulauan Natuna untuk menyatakan kedaulatannya.
Alasan kedua, Indonesia salah menilai situasi ketika mencoba mengambil keuntungan dari kasus arbitrase di Laut China Selatan yang diprakarsai oleh Filipina empat tahun lalu.
“Indonesia mencoba menggunakan pernyataan agresif yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Michael Pompeo tentang Laut China Selatan pada 13 Juli untuk membenarkan putusan ilegal 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen dan untuk menyelesaikan perselisihan yang ada di sekitar Kepulauan Natuna,” imbuh laporan Global Times.
Alasan ketiga, Indonesia cenderung membuka rintangan untuk menarik investasi asing ke Kepulauan Natuna. Pada bulan Januari, Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi memperkuat perjanjian investasi di bidang perikanan, energi dan pariwisata di Kepulauan Natuna, dan kemudian Indonesia terlihat memperkuat posisi aslinya di Laut China Selatan.
Sikap Indonesia telah direspons juru bicara Menteri Luar Negeri China Hua Chunying yang mengatakan misi permanen China untuk PBB telah mengkomunikasikan posisi Beijing di Laut Cina Selatan kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Pemerintah china engan menyelesaikan sengketa sesuai dengan UNCLOS. Masih menurut media pemerintah Beijing, usulan Indonesia bahwa perselisihan laut harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal.
“Salah satu masalah adalah bahwa penampilan konvensi datang lebih lambat dari klaim kedaulatan China. Yang lain adalah bahwa beberapa negara bukan penandatangan UNCLOS. Tetapi mereka dengan konyol meminta orang lain untuk mematuhi konvensi,” tulis media corong pemerintah kominis china itu.***
Editor: amran
Sumber: republika.co.id