Oleh: Immount de Djthem
Kolonial Indonesia mempunyai garis sejarah yang cukup panjang perihal demokrasi dan hukum. Demokrasi dan hukum menjadi sebuah filosofi ataupun dasar negara itu. Pancasila dan UUD 1945, setidaknya berakar pada dua konteks dasar negara ini.
Tak heran, apabila pada tingkat waktu tertentu menyebut dirinya—negarawan di negara itu mengagungkan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Katanya, Indonesia adalah negara dengan paham demokrasi terbesar ketiga di dunia dan disebut-sebut sebagai negara hukum. Menurut mereka, demokrasi dan hukum sangat menjamin toleransi di negara kepulauan dengan ragam suku, bangsa, budaya, wilayah, leluhur, dan lain sebagainya itu. Sampai percaya diri, pemimpin di negara itu mengatakan bahwa negara ini menjamin ruang ekspresi, ruang demokrasi, HAM, tidak rasis, dan diskriminatif.
Indonesia mengklaim tidak pernah menjadi penjajah bagi Timor Leste, dan hingga saat ini bukan lagi menjadi penjajah bagi Aceh, RMS, West Papua, Borneo, Bali, Minahasa, Pasundan, Sangir dan Talaud, serta Riau, yang pernah membentuk badan negara hingga lambang nasional—yang akhirnya dibubarkan oleh kolonial Indonesia sendiri melalui rentetan operasi militer dengan misi menjadikan wilayah-wilayah koloni itu dimasukan ke dalam bingkai NKRI.
Sejak wilayah tersebut dicaplok ke Indonesia, Bali, Minahasa, Pasundan, Sangir dan Talaud, serta Riau tidak nampak lagi. Kaum budak di negara-negara kecil yang pernah ada itu tenggelam langsung dalam kendali kekuasaan kolonial Indonesia. Namun yang nampak menolak dan melawan kolonial Indonesia hanya West Papua, RMS, dan Aceh.
Dalam perjalanan waktu, ketiga daerah ini mengalami banyak hal. Pengalaman dan kenyataan itu sering membuat mereka mengambil kesimpulan yang nantinya boleh juga disebut kesimpulan empiris historis atas perlakuan perlakuan kolonial Indonesia terhadap mereka.
Karya ini merupakan sebuah catatan kecil yang mengupas tentang status Indonesia di West Papua dalam perspektif jurnalis, aktivis nasionalis yang progresif, pemerhati lingkungan hidup, pemerhati HAM, tokoh gereja, dan masyarakat. Tulisan ini merupakan studi kecil-kecilan yang berbasis pada pendekatan observasi, wawancara, dan percakapan singkat melalui media massa.
Lemahnya, di sini tidak memuat sejarah masalah dan teori-teori yang berkaitan dengan tema-tema yang terterah di bawah ini. Namun ini tidak kalah menarik, karena karya ini merupakan hasil riset sederhana selama melalui buku-buku, majalah, jurnal, pengamatan langsung, dan interview dalam rentan waktu kurang lebih 9 tahun (2012-2020).
Ini akan semakin menarik lagi karena mengutip pendapat para aktor dan orang-orang yang mengalami langsung perlakuan kolonial Indonesia. Kutipan pernyataan mereka akan menggambarkan wajah demokrasi dan hukum (antara keadilan dan ketidakadilan) yang sebenarnya sulit terbantahkan.
Kaum budak West Papua, bahkan orang-orang dari kalangan Indonesia sendiri, sejak daerah koloni itu dianeksasikan pada 1 Mei 1963 melalui UNTEA—kemudian legitimasi aneksasi itu melalui PEPERA 1969, meyakini bahwa Indonesia memang kolonial, negara kekerasan, musuh demokrasi, pelanggaran HAM, penyebar hoaks, kapitalis dunia, perusak lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai kolonial
Indonesia itu kolonial. Penjajah. Penindas. Pembudak bagi orang West Papua. Label itu beranjak dari dalam dasar pemikiran, hati, perasaan, kehendak, niat, kemauan, ikhtiar, tujuan, dan kepentingannya. Kemudian hal tersebut tergambar dalam praktek penjajahan, penindasan, dan perbudakannya di Papua. Status itu berlaku sebelum merebut Papua dengan cara aneksasi.
Sejak awal Soekarno melihat Papua dengan kacamata aneksasi. Kemudian merebut dan mendudukinya dengan cara-cara kolonial. Hal demikian diperhitungkan dalam sejarah KMB, 1 Mei 1963, New York Agreement, Roma Agreement, pasca Pepera 1969 yang penuh dengan peran kekuatan militer (operasi militer).
Menurut keyakinan orang Papua, setelah membuka lahan koloni barunya bersama Amerika Serikat dan Belanda, menduduki dan menguasai secara ilegal. Dia memperjelas statusnya sebagai kolonial, penjajah, penindas, dan pembudak di Tanah Papua, dengan menghancurkan dan menghilangkan sejarah, budaya, bahasa, dan basis pendidikan.
Benny dalam “Konsep Alienasi Manusia Menurut Karl Marx” menulis bahwa status Indonesia di Papua bisa dilihat dari keberadaan dan praktik kolonialisme. Indonesia sedang menduduki West Papua (koloni) dan merampas hak milik dan hak hidup orang Papua (kapitalisasi).
Apa yang menjadi Indikator Indonesia menjajah Papua? Indonesia mencetuskan Trikora. Indonesia melakukan mobilisasi pasukan, merebut wilayah, mengirim penduduk (transmigrasi), dan mempraktikkan semua yang dia mau di Papua.
Ia memberi nama-nama tempat, menghilangkan nama asli, menempatkan penduduk mempraktikkan semua aturannya di antara penduduk asli, memaksakan dengan satu kekuatan asing atau hukumnya untuk ikut (kemauannya).
Contoh konkret mobilisasi ini berkaitan dengan transmigrasi di Papua. Lihat daerah transmigrasi di Kabupaten Jayapura (Genyem), Keerom, Merauke, Nabire, dan Manokwari.
Soal perubahan nama tempat atau jalan (kolonisasi) itu, misalnya Cartenz/Tembagapura (Nemangkawi), pegunungan Jayawijaya/Trikora (Irimuliak/Hiriakup), stadion Mandala, lapangan Trikora, Taman Yos Sudarso, Tugu PEPERA, jalan Ahmad Yani, Soekarno, Thamrin, Sudirman, Sulawesi, dlsb.
Cara-cara tersebut merupakan ciri khas dari sebuah negara penjajah, penindas, dan pembudak bagi suatu suku atau bangsa pada suatu wilayah tertentu. Dalam sejarah masa silam maupun realitas hari ini telah memperlihatkan ini.
Bahkan setelah memperluas daerah koloni melalui kebijakan DOB di West Papua, kolonial Indonesia terus melakukan perubahan sana sini, termasuk mengendalikan sistem pendidikan berpola asrama (agama/gereja).
Indonesia sebagai negara pelaku kekerasan
Jumlah penduduk asli West Papua pada 1969 berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah kolonial Belanda tercatat kurang lebih delapan ratus ribu jiwa. Hal tersebut disampaikan Yan Christian Warinussy, advokat dan pengacara HAM yang berbasis di Manokwari, Papua Barat, 1 April 2020 melalui pesan WhatsApp.
“Yang bapa tahu, bahwa di masa pemerintahan Netherland Nieuw Guinea, dahulu penduduk OAP baru berjumlah sekitar 800-an ribu jiwa. Belum mencapai angka 1 juta. Makanya itu kalau waktu Pepera atau act of free choice 1969 diambil hanya 1.025 orang sebagai ‘wakil’ dari sejumlah daerah. Tidak melibatkan semua orang Papua. Pertanyaannya: apakah setiap orang mewakili berapa jiwa dari 800-an ribu jiwa OAP saat itu?”
Per 2018, di tangan kolonial Indonesia, populasi orang Papua terdata sekitar 2 juta. Ini data bersumber dari BPS Provinsi Papua dan Papua Barat. Lalu pertanyaannya adalah dimana 600 ribu orang West Papua lainnya? Mereka melarikan (menyelamatkan) diri ke PNG, Australia, Belanda?
Mengapa mereka melarikan (menyelamatkan) diri ke sana? Karena militer kolonial Indonesia mengancam, meneror, mengintidasi, dan mengejar mereka untuk menangkap, menculik, menyiksa, memukul, memperkosa, menembak, penikaman, membunuh, mencabut, dan lain sebagainya. Lainnya meninggal karena sakit biasa, seperti malaria, dlsb.
Tapi sebagian besar tewas akibat tindak kekerasan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Sebagian lagi meninggal dunia akibat kekerasan nonfisik (keracunan) melalui makanan, minuman (air), perempuan/laki-laki, uang, kebijakan (otsus, raskin, UP4B, Pemekaran DOB, jalan trans dll), miras, obat-obatan di rumah sakit, hotel, warung, dlsb. Sebagai rujukan, bisa lihat ragam laporan pelanggaran HAM dari buku-buku memori passionis, berita di media massa, dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga kekerasan politik dalam bentuk operasi militer maupun operasi biasa, baik sejarah fisik maupun non fisik yang melibatkan TNI-Polri, maupun milisi sipil di berbagai tempat tersebut sangat jelas. Macam-macam kekerasan itu menunjukkan betapa benarnya kolonial Indonesia melakukan kekerasan. Hal itu diperkuat dengan pembukaan pos-pos dan pendropan pasukan yang berlebihan di seluruh kabupaten/kota (DOB).
Meki Mulait, imam projo Keuskupan Jayapura, dalam tesisnya ”Menjadi Gereja Keuskupan Jayapura Yang Berdaya Transformatif di Tengah Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua” menyebutkan bahwa, setidaknya ada 12 kali operasi militer di Papua.
Jumlah ini tergolong dari 1989 hingga 2005. Isinya merujuk pada laporan dari Otmar Oehring (upaya lintas agama demi perdamaian Papua Barat, lembaga misi Katolik internasional, 2006).
“Konteksnya: mau memperlihatkan atau mempertegas bahwa baik sebelum maupun sesudah cabut DOM pelanggaran HAM Papua yang berat maupun ringan tetap saja sama, tidak ada perubahan. Sehingga catatan selanjutnya disinggung jg pelanggaran HAM berat setelah tahun 2005, meskipun secara kronologi waktu tidak begitu tegas karena di bawah tahun 2005 dan sesudah tahun 1989 tindakan DOM masih diberlakukan. Secara de jure dicabut tetapi de facto-nya masih diberlakukan. Mungkin nuansa politis pada masa ini cukup tinggi karena masa peralihan,” katanya, Jumat (15/5/2020).
Jumlah operasi militer ini tidak termasuk pada 1960-an hingga 1987. Tetapi yang jelas operasi militer di West Papua itu diberlakukan semenjak operasi militer “Trikora” diberlakukan oleh Soekarno pada 19 Desember 1961 di Jakarta hingga tahun 2000.
Belum termasuk motif operasi militer baru pada dewasa ini, tahun 2006 hingga saat ini, yang menurut pemerintah kolonial Indonesia bersama aparat keamanan dan militernya adalah operasi penegakan hukum.
Operasi militer baru ini, atau operasi militer atas nama penegakan hukum ini bisa lihat sekarang di areal PT Freeport Indonesia, Kabupaten Timika, Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Maybrat di masa ancaman Covid-19. Banyak orang meninggal akibat operasi militer model baru ini.
Ini juga tidak hanya menunjukkan kolonial Indonesia sebagai negara berbasis militerisme. Tapi juga sekaligus digambarkan sebagai negara kekerasan.
Kolonial Indonesia juga boleh disebut sebagai negara militeristik, karena aktif melakukan praktek militerisme dalam semua sendi kehidupan manusia., termasuk para kapitalis yang aktif membayar dana keamanan dengan jumlah besar untuk menjaga aset-aset mereka di perusahaan-perusahaannya.
Bahkan di dalam sistem birokrasi kolonial Indonesia sekalipun, semua institusi negara yang strategis dan berbasis sipil sekalipun, aparat keamanan dan militer aktif serta pensiunan yang berkuasa.
Keberadaan para jenderal berbintang ini menunjukkan wajah pemerintahan kolonial yang militeristik. Maraknya, pendropan pasukan yang berlebihan hingga kekerasan dan kejahatan politik yang berujung pada pelanggaran HAM di West Papua, semakin meyakinkan dunia bahwa Indonesia itu memang negara militeristik (militerisme).
Indonesia sebagai musuh demokrasi
Kekerasan tak hanya berlaku bagi tubuh, darah dan nyawa orang Papua. Tetapi wujud dari teror, intimidasi, penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemukulan, penembakan, penikaman, pembunuhan, kecelakaan (tabrak lari), pelanggaran HAM, dan genosida menjadi musuh utama dalam sendi-sendi demokrasi di West Papua.
Kolonial Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai negara dengan paham demokrasi terbesar di dunia. Namun pendayagunaan kekerasan tanpa ampun pada prinsip takut akan Tuhan serta pada nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bermaha esa, bermaha adil, dan bermaha damai hanya membuat dunia bertanya pada eksistensi demokrasi kolonial Indonesia. Hal ini bisa dipelajari dari berbagai kekerasan, penegakan ruang ekspresi, dan demokrasi di tanah koloni modern itu.
Di West Papua, kolonial Indonesia menutupi ruang gerak dan tempat-tempat ekspresi orang West Papua sagat rapat dan keras. Pada saat yang sama, dia mengunci semua jalan masuk bagi jurnalis asing, peneliti, pegiat HAM, dan sekalipun pelapor khusus PBB memperlambat proses kunjungannya dengan alasan administrasi, keamanan dlsb.
Pembatasan ruang gerak dan tempat-tempat ekspresi orang West Papua ini, tak hanya memperlemah, menodai, dan menjadi negara beranti demokrasi dunia. Tapi juga memperjelas status kolonial Indonesia sendiri. Bahwa dia bukan semata-mata negara demokrasi di dunia yang besar.
Wajah demokrasi di Papua justru mencerminkan Indonesia sebagai musuh demokrasi di dunia, sehingga eksistensi Indonesia sebagai Negara demokrasi patut dipertanyakan.
Indonesia sebagai negara pelanggar HAM berat
Sejak 1960 operasi militer di Papua terus terjadi, baik secara fisik, maupun nonfisik. Operasi militer secara fisik berupa tindak kekerasan dan kejahatan (penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemukulan, penembakan, penikaman, pembunuhan, kecelakaan tabrak lari). Misalnya, operasi militer di Nduga, Wamena Berdarah I, II, dan III, Biak Berdarah, dlsb.
Sementara itu, yang dimaksud dengan operasi militer non fisik berupa, teror, intimidasi, persekusi, ujaran rasis (monyet, kete, kera dll), pengepungan, membangun stigmatisasi (separatis, GPK, KKB, KKSB, primitif, bodok, kanibal dll) dan masih banyak lagi.
Misalnya teror terhadap aktivis nasionalis dan mahasiswa sahabat demokrasi, masyarakat sipil dan pendeta/pastor pro perdamaian, keadilan, dan keutuhan manusia beserta alam semestanya.
Tak cerita operasi militer di atas bebas pelanggaran HAM. Semua itu bertentangan dengan keutuhan manusia. Maka pantas disebut Indonesia 100% Pelanggaran HAM Berat.
Indonesia sebagai negara rasialis dan diskriminatif
Buku Surat-surat Gembala dari FKOGP, karya Benny Giyai dkk menyinggung tentang rasisme kolonial Indonesia terhadap pelajar dan mahasiswa West Papua yang kuliah di Indonesia. Sudah lama orang-orang asli Papua disamakan dengan “binatang” dengan ucapan rasis “monyet, kera” oleh orang Indonesia ketika studi di Pulau Jawa.
Mereka juga telah mengangkat isu rasisme dari negara yang sama terhadap klub, manajemen, dan pemain asal West Papua. Salah satunya Persipura Jayapura. Saat mereka main tandang, misalnya di Jawa, para suporter di sana sering menghujat pemain, dan manajemen, bahkan melemparkan mereka dengan kulit pisang (makanan monyet).
Kasus rasisme dalam konteks olahraga, secara nyata pecah pada 2017 lalu. Grup Jawa Pos, memuat berita sangat sensasional dan rasis dengan gambar logo Persipura dan Arema Malang. Radar Malang menaruh judul “Kera ini Kandang Singa”. Orang-orang Papua protes ini, tetapi negara tidak bertindak tegas atau menjerat hukum kepada pelaku (reporter, editor dan redaktur).
Saat pemilihan presiden (2014), Natalius Pigai mendapat ujaran rasisme oleh sejumlah oknum masyarakat Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Indonesia mengeluarkan uang pecahan baru untuk sepuluh ribu rupiah. Di dalam gambar itu, terdapat wajah Frans Kaisiepo, pahlawan nasional Indonesia asal Biak, Papua.
Banyak orang dari kubu kolonial Indonesia menolak gambar tersebut. Pigai dan Kaisiepo dihina dan dijatuhkan martabat dan harga diri mereka tanpa sedikit pun mempertimbangkan kontribusi dan nasionalisme mereka terhadap kolonial Indonesia.
Kedua tokoh asal Papua ini bakalan disamakan dengan monkey (kera) pula. Meski demikian, negara masih membiarkan pelaku. Tidak pernah berusaha untuk menjerat hukum kepada pelaku rasis.
Kemudian, kasus rasisme yang paling menghebohkan dunia, pecah pada Rabu, 16 Agustus 2019—minus satu hari menjelang HUT ke-74 kemerdekaan RI. Pelaku rasisme (aparat keamanan dan militer bersama RT dan Satpol PP kota Surabaya, Jawa Timur) mengepung asrama mahasiswa Papua, Kamasan III. Aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia bersama ormas milisinya melancarkan ujaran rasisme di sana.
Mereka menyuruh mahasiswa di dalam asrama keluar dan pulang dari negara kolonial Indonesia dengan seragam kenegaraan dan simbolisme kolonial Indonesia (atribut negara kolonial).
Tindakan rasisme ini menarik perhatian, bahkan amarah dari kaum budak kolonial Indonesia menjelang pelantikan presiden Jokowi pada Oktober setelah memenangkan pemilihan presiden pada 2019 yang dilakukan secara bersamaan-serentak dengan pemilihan legislatif.
Hampir semua kota di West Papua protes terhadap rasisme kolonial tersebut. Mereka melakukan demonstrasi secara spontan. Banyak ruko dan mal yang dibumihanguskan oleh para demonstran. Pada saat yang sama, banyak orang ditembak mati oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap hingga menjalami proses hukum yang dianggap rasis meski sudah dinyatakan bebas. Semua tahanan politik rasisme kolonial Indonesia kurang lebih ada 63 orang.
Pada saat yang sama kolonial Indonesia menerapkan sistem aneksasi dalam proses hukum makar. Bahkan dengan jelas-jelas menerapkan sebuah diskriminasi politik rasial terhadap orang Papua.
Indonesia perusak lingkungan hidup
“Perusak Lingkungan Hidup & Kemanusiaan juga kebudayaan,” tulis Aji Adhinatha Laksmana melalui Mesangger (Facebook) pada Rabu (1/4/2020). Dia mengatakan West Papua yang identik dengan sumber daya kekayaan alam itu seharusnya mampu membebaskan kaum budak kolonial Indonesia setempat dari kerja-kerja yang sifatnya menindas kaum budak pribumi West Papua.
“Kalau gunung emas di Papua itu menghasilkan emas, seharusnya emas itu sebagai material untuk membuat teknologi alat produksi yang membebaskan manusia di bumi. Bukan hanya di Papua. Seharusnya di situ manusia sudah dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas—dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas sesama Manusia.”
Eksploitasi sumber daya alam oleh kolonial Indonesia bersama para kapitalis dan imperialis global, cukup merusak keutuhan alam semesta, ekosistem, lingkungan hidup, dan mencemarkan sumber-sumber air tanpa ampun dan rasa kepedulian sama sekali. Bahkan menghancurkan dan memusnahkan seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan pertambangan atau perusahaan apa saja.
Tentu ini tak hanya membuat bumi kepanasan. Tetapi di samping itu, kolonial Indonesia bersama antek-anteknya menghancurkan seluruh tatanan makhluk hidup, meluluhlantakkan struktur sosial masyarakat budak yang berakar pada potensi lingkungan hidup.
Banyak orang merasa kehilangan mata pencaharian, seperti berburu, berkebun, dan bernelayan karena negara klaim tanah dengan kekuatan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Pendekatan seperti ini tak hanya membuat masyarakat budak pemilik tanah adat ketakutan, tetapi juga membunuh psikologi masyarakat sipil yang menolak dan melawan. Banyak orang West Papua menjadi korban akibat kehadiran perusahaan yang dibekingi oleh kekuatan tangan besi. Hal ini bisa dilihat dari perusahaan kelapa sawit, pertambangan, batu bara, dan lain sebagainya di tanah koloni ini.
Indonesia sebagai negara “penyebar hoaks”
Semua orang sudah melihat perlakuan melawan hukumnya sendiri, hukum Tuhan dan prinsip dasar yang tertuang dalam berbagai macam kovenan internasional. Lalu bersaksi dusta tentang pelanggaran HAM berat dan pembatasan ruang demokrasi Papua di hadapan media massa dan diatas mimbar PBB.
Sudah jelas berujar rasis pada 16 Agustus 2019 terhadap mahasiswa Papua di asrama Kamasan III, Surabaya, Indonesia; sudah jelas melakukan operasi militer di Nduga yang mengakibat sekitar 10000 jiwa/warga sipil mengungsi di hutan-hutan hingga daerah tetangga dan masih banyak contoh kasus penyangkalan lainnya. Baru bilang semua itu tidak benar?
Katanya kasus rasisme di Surabaya itu bukan rasis. Sedangkan orang Papua yang memprotes kasus rasisme itu dicap atau disebut orang atau kelompok yang termakan isu hoax hingga menyebut mereka penyebar hoax. Kemudian mengaburkan gerakan penegakan demokrasi (demonstran) itu dengan label anarkis, bentrok dan kerusuhan (vandalistik).
Sementara operasi militer di Nduga dikatakan bukan operasi militer. Tapi bilang TNI/Polri melakukan penegakan hukum. Dimana bedanya antara operasi militer dan TNI/Polri melakukan penegakan hukum? Lalu seluruh pelanggaran HAM berat disebut bukan pelanggaran HAM berat. Tetapi pelanggaran ringan.
Pembohongan publik seperti ini tumbuh dan berkembang pesat atas nama keutuhan atau “NKRI harga mati” di Papua. Kebenaran dipermainkan seperti boneka. Data ditutupi dengan kata. Fakta dibungkus dengan omong kosong. Kenyataan diinternalisasi dengan senjata, perempuan, uang, jabatan, dan kekuasaan. Tak ada dosa apabila kolonial Indonesia disebut 100% Penyebar Hoax.
Roberta Agumuyai Muyapa, seorang aktivis, perempuan yang anti feminism, dan inisiator Solidaritas Pasar Mama-Mama West Papua di Nabire, menyebut kolonial Indonesia memanfaatkan teknologi dan media massa untuk membangun kesadaran palsu. Kesadaran masyarakat, khususnya kaum budak marginal di mata kolonial Indonesia pun ikut dialienasi.
“Dia (kolonial Indonesia) bangun kesadaran palsu melalui alat media dll. Jadi gaya berpikir dan kesadaran kita juga dialienasi. Bahkan segala bentuk yang berkaitan dengan kesadaran kaum perempuan pun ikut dibungkam (secara sistematis melalui penyebaran Hoax pula),” tulisnya, Jumat (15/5/2020).
Indonesia sebagai negara neoliberalisme
Kolonial Indonesia boleh dikatakan juga Negara neoliberalisme, karena menjalankan monopoli kapitalisme. Membentuk sistem pasar dan menjalankan berbagai fungsi. Misalnya, presiden bisa punya perusahan pribadi, atau parpolnya.
Bahkan aparat atau jenderal aktif bisa punya perusahaan dimana-mana. Makanya, tak heran jika di Indonesia marak dengan adanya penolakan dwifungsi militer. Bukan tidak lain. Ini merupakan wajah negara yang erat kaitannya dengan neoliberalisme.
Indonesia sebagai negara feodalis
Di samping itu, kolonial Indonesia juga bisa disebut negara feodalis, karena masih mempunyai beberapa kerajaan di Indonesia yang aktif dan masih diwariskan hingga saat ini di dalam sistem birokrasi pemerintahan sekalipun.
Misalnya, Kraton Jogja, Kraton Surakarta, dst. Raja di sana menjalankan sistem feodal dengan mengklaim tanah-tanah milik masyarakat dengan hanya menjadikan hak milik pakai.
Bukan hak milik pakai berdasarkan basis komunitas masyarakat. Artinya, suatu waktu ketika ada perusahan hotel, mall, dst, raja bisa mengambil kembali dan meminggirkan masyarakat dan berikan kepada pihak perusahan.
Akhirnya masyarakat terpinggirkan dan terbentuk banyak perlawanan disana sini. Tetapi sistem feodal ini tidak penuh feodal. Barangkali setengah feodal, dan setengah kapitalis.
Indonesia sebagai negara oligarki
Pada rezim Jokowi sangat terasa. Sistem birokrasi kolonial Indonesia itu tidak murni menjalankan sistem pemerintahan yang bersih hukum dan murni demokratis. Pemerintah saat ini lebih dikendalikan oleh militer kolonial Indonesia.
Lihat saja Luhut Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, Prabowo, Tito Karnavian, dan lainnya. Semua instansi yang penting dikuasai oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Jokowi menjadi seperti “o harokmaman”, dalam bahasa Hugula itu kayu harokmaman. Pohon ini bisa tumbuh. Suka kesana-kemari. Selalu mengikuti arus angin. Artinya, ikut-ikutan—ikut ramai. Begitulah wajah kepemimpinan Jokowi saat ini.
Dia presiden memang, tapi nampak presidennya Megawati atau para jenderal berbintang di atas. Mereka yang kuasai dan kendalikan. Ini juga merupakan wajah sistem birokrasi yang penuh dengan oligarki.
Indonesia sebagai negara kapitalis
Sejarah kapitalisme di dunia erat kaitannya kepentingan ekonomi. Sejarah masa lalu maupun orientasi kebijakan pembangunan hari ini jelas.
Semua mengandung kepentingan ekonomi di Papua. MoU Freeport (7 April 1967), Pepera, termasuk, KMB, penyerahan Tanah Papua (1 Mei 1963), New York Agreement, Roma Agreement itu sarat kepentingan ekonomi.
Salah satunya adalah program kerja sama antara kolonial pertama di Papua, Belanda dengan orang Papua yang mendorong gerakan kebangkitan ekonomi rakyat Papua melalui Irian Jaya Joint Development Foundation (JDF, 1970-an).
Program ini dihancurkan oleh kolonial Indonesia pada 1980 karena takut dan tidak mau melihat orang Papua sejahtera dan makmur.
Sekarang kolonial Indonesia mengarahkan fokus kebijakan di Papua pada sektor pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan trans, jalan kereta, jembatan, pelabuhan, bandar udara, gedung, masjid/pesantren (gerakan islamisasi) dan lainnya. Pembangunan fisik tersebut sarat kepentingan ekonomi bagi pengusaha, kaum miskin dan penganggur asing (non Papua).
Dalam praktik sejarah masa lalu maupun fokus kebijakan pembangunan hari ini jelas. Indonesia memperjelas dirinya dengan pendekatan sebagai sebuah negara kapitalis. Dengan demikian jelas.
Bahwa Indonesia adalah 100% kapitalis di dunia. Status ini diperkuat dengan praktek eksploitasi SDA Papua dari 1967 hingga pada detik saat ini. Berikut ini adalah menurut Mikael Kudiai.
Indonesia dalam konteks negara boleh dikatakan sebagai kapitalis. Karena melakukan praktek penghisapan melalui perusahan-perusahan yang dikelola oleh BUMN dan BUMD.
Misalnya, perusahaan PLN, PDAM, pasar mama-mama di Jayapura, Telkom, dan semua perusahan yang dikelola BUMN dengan mewajibkan rakyat harus bayar mahal untuk menghidupi kebutuhan dasar manusia di West Papua.
Akhirnya rakyat, terutama buruh, mama-mama pasar, tani, dan masyarakat kelas bawah lainnya, yang upahnya pas-pasan agak susah untuk membayarnya sesuai permintaan perusahaan oleh negara.
Selain kolonial Indonesia dalam konteks negara, di Indonesia juga banyak kapitalis-kapitalis nasional, seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Prabowo, Luhut, dst, atau Yoris Waweyai yang punya perusahan di Kalimantan. Ini kapitalis-kapitalis asal Indonesia atau biasa disebut kapitalis nasional.
Mereka dikatakan kapitalis karena selain menjadi penguasa, pemodal dan pengendali sistem kapitalisme di dalam sistem birokrasi—eksekutif, yudikatif dan legislatif, mereka juga punya perusahan dimana-mana.
Dengan mengerjakan ratusan buruh dengan upah yang tidak sesuai dengan undang-undang perburuhan nasional. Misalnya, jam kerja yang tidak sesuai undang-undang, upah kecil yang tidak sesuai undang-undang, tidak ada cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, dan lain sebagainya.
Ada juga kapitalis seperti Freeport. Freeport itu multi kapitalis karena di dalam ada sekitar 3 ratusan perusahaan yang kuras tambang. Mulai dari underground, listrik, mobil berat, tabung udara bawa tanah, dst. Asal Indonesia hanya ada satu perusahaaa, kalau tidak salah itu PT. Pangansari milik Aburizal Bakhir di Kediri, tempat produksi makanan buat buruh di Freeport.
Indonesia menuju negara imperialis
Pada abad ke-19, imperialis Inggris yang memimpin klasemen imperialisme dunia. Pasca perang dunia II, urutan pertama diduduki oleh imperialis Amerika Serikat, setelah imperialis Inggris tumbang. Hingga hari Amerika Serikat masih memimpin imperialisme dunia diatas saingan musuh abadinya, antara China, Jepang, dan Rusia.
Di kawasan Asia Indonesia dengan perkembangan dan kemajuan di sektor pembangunan industri, teknologi, infrastruktur fisik, dan lainnya memasuki dalam konteks persaingan imperialisme global. Hari ini nampak mengantongi status ± 20 – 50% imperialis. Dalam rentan waktu 30-50 tahun mendatang, kolonial Indonesia bisa menjadi 100% imperialis.
Tetapi ini berbeda dengan pandangan Yason Ngelia, aktivitas nasionalis dari Gerakan Mahasiswa dan Rakyat (GempaR Papua). Dia mengatakan, “kalau kolonial Indonesia sebagai negara imperialis, saya pikir mungkin akan ada perdebatan. Karena Indonesia tidak memiliki syarat sebagai negara imperialis sesuai definisi (historis). Justru Indonesia adalah negara yang menurut saya korban imperialis global”.
Menarik itu, menurut lelaki berambut gondrong ini ”sistem kesatuan RI yang mengklaim bangsa-bangsa Nusantara tidak bisa dibilang sebagai praktik imperialis karena diikat dalam sejarah perjuangan. Yang bikin Indonesia besar di mata dunia itu menurut saya karena politik internasional, bebas aktif. Sehingga dia bisa berada di mana saja selama untuk kepentingan oligarki nasional.”
Ketika ditanya, apakah Anda punya prediksi atau tidak? Perihal jika kolonial Indonesia disebut sebagai negara imperialis di kawasan Asia Pasifik dan 100 tahun ke depan di dunia? Dia katakana, “saya pikir susah melihat Indonesia menjadi negara besar. Karena saya melihat Indonesia justru sebaliknya—sedang menuju kehancuran dari dalam, dengan intoleransi, terorisme, disintegrasi bangsa, dan krisis. Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan Cina dan Amerika, bahkan Australia sekalipun.” Selesai. ***
Penulis adalah warga Papua, tinggal di Kota Jayapura
Sumber: Jubi.co.id
Editor: amran