SumatraTimes.co.id – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) mengajak masyarakat menjadikan momentum hari pahlawan 10 November 2020 untuk mengenang jasa tiga Pahlawan Nasional dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
“Sempena hari pahlawan ini, masyarakat terutama kaula muda harus bangga dan tahu bahwa Kepri memiliki tiga pahlawan nasional,” kata Peneliti Sejarah BPNB Kepri Dedi Arman, Selasa.
Tiga pahlawan nasional Kepri dimaksud adalah Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, dan Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ketiganya memperoleh gelar pahlawan dari Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap telah berjasa terhadap bangsa dan negara.
Adapun Raja Haji Fisabilillah menerima gelar pahlawan pada tahun 1997, disusul Raja Ali Haji tahun 2004, dan Sultan Mahmud Riayat Syah tahun 2018.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap ketiganya, Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden juga telah memberikan santunan sebesar Rp50 juta per tahun kepada zuriat masing-masing.
Selain itu, pemerintah pun berperan aktif menjaga dan merawat makam ketiga tokoh tersebut sehingga menjadi destinasi wisata bersejarah.
“Makam Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji berada di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Sedangkan makam Sultan Mahmud Riayat Syah berada di Daik, Lingga,” ujarnya.
Kalau hari-hari biasa, makam ketiganya pun kerap diziarahi wisatawan dari Malaysia, Singapura dan Brunai, serta wisatawan dalam negeri, termasuk pejabat daerah hingga pusat.
Berikut profil singkat tiga pahlawan nasional Kepri itu.
Raja Haji Fisabilillah
Raja Haji Fisabilillah, lahir di Kota Lama, Ulu Riau 1725 dan wafat di Teluk Ketapang (perairan di depan Kota Tanjungpinang), 18 Juni 1784. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat Inderasakti, Kota Tanjungpinang.
Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah, dan salah satu masjid yang ada di Selangor, Malaysia.
Raja Haji dikenal juga sebagai Raja Haji Marhum Teluk Ketapang. Ia adalah (Raja) Yang Amat Mulia (YAM) Dipertuan Muda Kerajaan Riau Lingga Johor dan Pahang IV.
Ia terkenal dalam melawan pemerintahan kolonial kompeni Belanda dan berhasil membangun Pulau Niram Dewa (Pulau Pecah Piring) di Sungai Riau Lama, hanya beberapa kilo meter dari Hulu Riau.
Karena keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki (dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi.
Ia gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan dan benteng maritim kompeni Belanda (sekarang perbukitan asrama TNI-AL, dan Kampung Jawa di Kota Tanjungpinang) di Teluk Ketapang, pada tahun 1784.
Raja Ali Haji
Raja Ali Haji lahir di Selangor tahun 1808, dan meninggal di Pulau Penyengat tahun 1873. Raja Ali Haji adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19, keturunan Melayu-Bugis.
Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa, buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan ditetapkan sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Tuhfat al-Nafis dan Gurindam Dua Belas merupakan karya dari Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, YAM Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Riau Lingga Johor dan Pahang, dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Sultan Mahmud Riayat Syah
Sultan Mahmud Riayat Syah lahir pada tanggal 24 Maret 1756. Sultan Mahmud Riayat Syah III adalah anak bungsu dari Sultan Johor ke-13, Sulran Abdul Jalil Muazzam Syah dengan istri keduanya, Tengku Puteh.
Sultan Mahmud Riayat Syah jadi sultan saat masih belia. Sepanjang hidupnya, ia aktif dalam melawan Belanda. Strategi gerilya laut yang dikembangkannya melawan Belanda menjadikan sosok ini jadi lawan yang ulet bagi Belanda hingga ia wafat.
Sultan Mahmud Riayat Syah adalah Sultan Riau, Lingga, Johor dan Pahang dengan wilayah takluknya kini berada di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Nama Sultan Mahmud Riayat Syah diabadikan menjadi nama Stadium Sepakbola di Daik Lingga dan nama Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah di Sagulung, Kota Batam.***
Sumber: antara
Editor: amran