Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Sumatratimes.com – Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menegaskan dengan Firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; // Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka jahannam).” (Q.S. At-Tiin: 4-5)
Melalui ayat 4 dan 5 dalam surah At-Tiin di atas jelas diterangkan Allah, bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk yang Allah ciptakan di antara makhluk Allah yang lainnya. Akan tetapi bentuk yang baik itu belumlah menjadi jaminan, bahwa manusia akan mendapat tempat yang baik di sisi Allah. Sebab secara tersirat Allah menyatakan, bahwa bagi mereka yang durhaka kepada Allah Ta’ala akan dikembalikan atau dilemparkan ke tempat yang seburuk-buruknya, yakni Neraka Jahannam.
Oleh karena keadaan yang demikian itulah, agar kita tetap berada kondisi “ahsani taqwim” atau menjadi makhluk yang mulia dengan sebaik-baiknya bentuk dan dijauhkan Allah dari “asfalasaa filiin”, maka tentu saja kita harus benar-benar bertakwa kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102)
Dan ketakwaan itu sendiri hanya bisa diperoleh dengan cara benar-benar beriman kepada Allah yang dibuktikan dengan melakukan amal shalih sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam ayat 6 surah At-Tiin, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (Q.S. At-Tiin: 6)
Adapun amal saleh yang dilakukan orang-orang beriman tidaklah hanya sebatas pada melaksanakan kewajiban sholat; puasa; zakat dan berhaji saja. Akan tetapi harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya yang dalam kesempatan ini dapat disampaikan beberapa di antaranya;
Yang pertama bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya; baik hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan hati, maupun yang tidak menyenangkan hati. Sebab pada hakikatnya apa-apa yang Allah ciptakan dan takdirkan kepada kita bukanlah sesuatu yang sia-sia, lantaran dibalik sesuatu yang tidak menyenangkan itu pasti ada hikmahnya. Dan oleh hal yang demikian itulah Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl: 78)
Kedua sabar, yang dalam hal ini nyaris sama dengan kondisi bersyukur. Artinya, sabar itu tidak hanya ketika diuji dengan musibah atau sesuatu yang tidak menyenangkan, akan tetapi kesabaran juga wajib ditumbuhkan ketika Allah memberi sesuatu yang menyenangkan hati. Sebab pada hakikatnya segala macam bentuk keburukan dan kebaikan yang Allah takdirkan untuk kita adalah semata-mata ujian bagi keimanan kita sebagaimana yang Allah tegaskan dengan Firman-Nya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Anbiyaa’: 35)
Ketiga adalah, waspada terhadap bisikan syaithan yang memang sejak awal telah memusuhi orang-orang beriman sebagaimana yang diingatkan Allah dengan Firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 208)
Ke-empat, berhati-hati terhadap keinginan atau ajakan nafsu yang kita miliki. Sebab pada hakikatnya nafsu itu senantiasa menyuruh kita untuk melakukan perbuatan mungkar yang sangat dilarang dan dibenci oleh Allah Ta’ala. Untuk hal inilah Allah berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf: 53)
Salah satu cara agar kita tidak terjebak dalam kemaksiatan nafsu yang kita miliki, maka jika suatu sa’at ada sesuatu yang kita inginkan, sebaiknya hendaklah diteliti dan dipelajari dulu; Apakah hal itu sesuai dengan anjuran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW atau tidak. Jika bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah ditinggalkan dan dijauhi. Sebab sekecil apapun kesalahan yang kita perbuat, semuanya harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Untuk hal inilah Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguh-nya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Yang kelima adalah membuang sifat sombong dari dalam hati dan menumbuhkan ketawadhu’an atau merendahkan diri; baik kepada Allah maupun terhadap sesama. Dan di antara sifat sombong yang wajib dibuang itu adalah sifat riya’, yakni melakukan amal shalih karena ingin dilihat dan dipuji orang; dan juga sifat ujub yakni tumbuhnya rasa bangga pada diri sendiri karena mampu beramal shalih dan merasa lebih baik dari orang lain. Hal-hal yang demikian ini secara jelas Allah nyatakan dengan Firman-Nya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18)
adapun tentang perintah merendahkan diri ditegaskan Allah dengan Firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S.Hud: 23)
Inilah beberapa hal yang wajib kita cermati dan pahami, jika kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik atau “ahsani taqwim” tidak ingin dikembalikan Allah ke tempat yang serendah-rendahnya atau “asfalasaa filiin”, yakni Neraka Jahannam. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 3 Safar 1440 H /
12 Oktober 2018.