Jakarta – Implikasi jika permohonan pengujian secara materiil atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia itu dikabulkan, maka kewenangan Kejaksaan di bidang pidana untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang akan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Artinya kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti korupsi bukan lagi menjadi kewenangan Kejaksaan.
Demikian Komentar Muhammad Fauzan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman sebagai bentuk kepeduliannya terhadap Hukum serta merasa miris atas Permohonan Judicial Review atas pasal 30 Ayat (1) huruf D Undang- undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 39 Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 44 Ayat (4) dan Ayat (5) Khusus Frasa atau Kejaksaan.
Pasal 50 Ayat (1) Ayat (2) dan Ayat (30) Khusus Frasa atau Kejaksaan dan Pasal 50 Ayat (4) Khusus Frasa atau Kejaksaan
Undang – undang Nomor 30 Tahun 2022 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam rilis resminya, Jumat (12/5/2023) Muhammad Fauzan menyebutkan, Banyak kalangan yang mencurigai bahwa permohonan pengujian UU No. 16 Tahun 2004 untuk menghilangkan kewenangan kejaksaan di bidang peyidikan tindak pidana tertentu, dan menghilangkan Frasa Kejaksaan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi serta 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan upaya perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat atau sedang berurusan dengan aparat kejaksaan dalam mengungkap berbagai tindak pidana korupsi di Indonesia.
Penilaian atau kesimpulan tersebut cukup beralasan karena beberapa alasan antara lain ;
Pertama, bahwa ketentuan untuk menghilangkan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 dan upaya menghilangkan frasa “kejaksaan” dalam beberapa pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 serta UU No. 30 Tahun 2002 sudah berkali-kali dilakukan dan semuanya sudah ditolak atau tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusan Mahkamah Konstitusi antara lain sebagaimana terdapat dalam Putusan MK Nomor: 28/PUU-V/2007 tanggal 28 Maret 2008, Putusan MK Nomor: 49/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor: 16/PUU-X/2012 tanggal 8 Oktober 2012 dan Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015.
Kedua, beberapa tahun terakhir ini Kejaksaan telah berhasil menangani beberapa kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara dengan jumlah triliunan rupiah yang dilakukan oleh beberapa korporasi besar .
Dalam pandangan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini, Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global. Korupsi di Indonesia sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa itu sudah merambah di segala lini, baik darat, laut dan udara atau dengan kata lain Indonesia itu sudah layaknya seperti hutan belantaranya korupsi, oleh karena itu diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary way) untuk menghentikannya dari bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan, termasuk kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh para pembentuk UU sebenarnya merupakan ikhtiar normatif yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia untuk menjadikan Negara Indonesia yang bebas dari korupsi.
Sebagai negara yang tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi, sehingga dikatakan sebagai “hutan belantaranya korupsi” pemberantasannya tidak akan dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional, misalnya kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada satu lembaga Kepolisian saja.
Oleh karena itu pemberian kewenangan penyidikan kepada 3 (tiga) lembaga penegak hukum memiliki dasar argumentasi yang rasional dan sangat empirical , yakni Kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002. Kejaksaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 huruf e UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saya percaya kali ini Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka juga akan memutus permohonan tersebut dengan putusan yang sama dengan putusan-putusan sebelumnya, yakni menolak semua gugatan terkait konstitusionalitasnya ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 dan beberapa pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 serta UU No. 30 Tahun 2002. Ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Muhammad Fauzan (Hendri)