Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
SumatraTimes.com.Rokanhilir – Genderang “PILKADA” serentak tahun 2018 sudah dibunyikan dan “kampanye” pun sudah dimulai oleh masing- masing calon untuk meraih simpati pemilih untuk “mencoblos” nomor urut yang dimiliki “paslon” tersebut. Dan tentu saja “memilih” salah satu paslon tersebut menjadi “kewajiban” setiap orang; khususnya kaum Muslimin.
Sebab bagaimanapun juga secara lahiriah kemenangan orang yang pantas menjadi pemimpin atas dirinya berkaitan dengan keikut sertaannya sebagai pemilih. Artinya adalah bahwa jika dia tidak ikut memilih, maka boleh jadi “paslon” yang layak jadi pemimpinnya akan kehilangan suara pemilih dan memberi peluang kepada paslon lainnya yang sebenarnya tidak layak untuk dijadikan sebagai pemimpin.
Dikatakan oleh “Syaikhul Islam” Taqiyudin ibnu Taimiyah dalam kitab beliau “As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah”, bahwa memilih pemimpin untuk mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan tanpa adanya pemimpin. Sementara “Hujjatul Islam” Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan, bahwa: “Agama dan kekuasaan adalah dua hal saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.
Oleh karenanya wajiblah bagi setiap orang memilih seorang pemimpin untuk mengurus kepentingan mereka; terutama untuk kemashlahatan agamanya.” Dan hal ini tersirat dalam hadits Rasulullah SAW yang mewajibkan seseorang dalam setiap perkumpulan atau kelompok yang terkecilpun harus ada yang menjadi pemimpin. Beliau bersabda: “Apabila ada tiga orang dalam perjalanan, maka angkatlah salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)
Sedangkan dalam hadits lainnya beliau bersabda: “Tidak dihalalkan bagi tiga orang yang berada di tengah lapang, kecuali salah satu dari mereka ada yang menjadi pemimpin.” (HR. Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar r.a Namun demikian, walaupun agama memandang betapa urgensinya masalah kepemimpinan ini, maka tentu saja tidak setiap orang dapat “menjadi pemimpin” atau “dipilih menjadi pemimpin”. Lebih-lebih lagi dalam masyarakat yang majemuk; yang terdiri dari berbagai unsur agama yang dianut; latar belakang politik; kepentingan golongan dan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.
Berkaitan dengan masalah memilih pemimpin ini, maka dalam kumpulan fatwanya “Syaikh Yusuf Al-Qardhawi” menjelaskan; Bahwa dalam hal memilih pemimpin yang berkaitan dengan urusan negara, maka ada 2(dua) hal yang wajib diperhatikan:
Pertama, jika yang dipilih itu adalah seorang pemimpin yang berasal dari kalangan Islam; baik untuk sebuah negara yang berasaskan Islam ataupun yang asas yang lainnya, maka setiap muslim wajib untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih yang terbaik dari mereka-mereka yang dianggap baik untuk mencegah naiknya pemimpin yang memiliki perilaku atau akhlak yang buruk.
Kedua, jika seseorang hidup dan menjadi warga atau penduduk dari sebuah negara yang non Islam, maka ia tidak boleh ikut memilih, jika di dalam pemilihan kepemimpinan tersebut tidak ada seorangpun calon pemimpin yang berasal dari kalangan Islam (muslim); kecuali dalam keadaan terpaksa demi menyelamatkan diri dan sekaligus aqidah (agama Islam) yang diyakininya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an, sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam beberapa firman-Nya
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin; Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka; Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya; dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S. Ali ‘Imraan: 28)
Pada bagian lain dijelaskan oleh Al-Qardhawi, bahwa aspek keimanan orang yang dipilih sebagai pemimpin juga wajib diperhatikan. Artinya adalah, sekalipun ia bukan seorang yang alim (berilmu) di bidang agama (Islam), maka orang tersebut hendaklah seseorang yang sudah dapat diperkirakan keteguhan imannya kepada Allah;
Baik dengan melihat secara lahiriah keta’atannya maupun aktifitasnya dalam upaya membela; membangun dan menegakkan kemashlahatan agamanya. Sebab jika ia seseorang yang tidak memiliki keteguhan iman, lebih-lebih lagi pengetahuan agamanya (Islam) kurang memadai, maka dikhawatirkan ia akan cenderung atau bersyubhat, bahkan akan lebih meng-utamakan hal-hal yang bertentangan dengan ketetapan Allah (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW) dalam menjalankan kebijakan kepemimpinannya; baik yang bersifat pribadi; golongan ataupun kolega politiknya. Dan hal inilah yang secara tersirat diperingatkan Allah SWT dengan firman-Nya
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali (pemimpin)mu, jika mereka lebih mengutama-kan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin (wali), maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. At-Taubah: 23)
Lebih lanjut Syaikh Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa pada masa sekarang ini, diberbagai belahan dunia banyak terjadi hal-hal yang meyesatkan, bahwa seorang pemimpin yang berasal dari kalangan umat Islam (muslim) tidak lagi memposisikan dirinya sebagai mukmin yang utuh tatkala diberi amanah untuk memimpin. Banyak yang terjebak dalam paham sekularisme yang berpendapat;
Bahwa hukum moral (hubungan antar sesama manusia) tidak ada kaitannya dengan hukum agama. Atau dengan kata lain urusan negara (yang bersifat duniawi) dan urusan agama (urusan akhirat) berjalan sendiri-sendiri dengan aturannya; tidak saling berhubungan ataupun berkaitan. Padahal kecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan; keamanan dan bantuan phisik yang memang sudah dianggarkan bagi mereka, maka seorang pemimpin yang berasal dari kalangan Muslim tidak boleh ikut campur dalam hal apapun yang berkaitan dengan “ibadah” agama lain yang dianut oleh orang-orang yang dipimpinnya. Sebab secara tegas Allah telah memberi peringatan dengan Firman-Nya:
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir; aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; untuk-mu agamamu, dan untuk-kulah agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-6)
Al-Qardhawi juga menjelaskan; Bahwa selain faktor iman yang berkaitan dengan “calon pemimpin” yang akan dipilih, maka juga perlu diperhatikan latar belakang “orang” atau “partai” serta kelompok-kelompok lainnya, yang mendukung atau yang memberikan dukungannya kepada calon pemimpin yang akan dipilih tersebut. Sebab bagaimanapun para pendukung tersebut akan memberi warna atau pengaruh yang “signifikan” kepada si calon jika kelak dia berhasil terpilih sebagai pemimpin.
Dan tentu saja jika para pendukung calon pemimpin tersebut berasal dari orang; kelompok atau partai yang kurang atau tidak menyukai “syariat Islam”, maka tentu akan sangat berpengaruh pada dinamika perkembangan dan pelaksanaan syariat Islam di wilayah kepemimpinannya. Dan boleh jadi paham “spilis” (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) akan tumbuh subur ditengah-tengah kehidupan masyarakat Muslim yang ada di wilayah tersebut.
Disamping persyaratan di atas, maka syariat juga menganjurkan agar memperhatikan faktor kearifan dan keilmuan yang dimiliki calon pemimpin yang akan dipilih. Dan diantara keduanya, maka kearifan lebih diutamakan. Sebab tingginya ilmu yang dimiliki oleh seseorang belum tentu mampu membuatnya menjadi orang yang arif (bijaksana dalam mengambil dan membuat keputusan) sebagaimana yang dikatakan:
“Bahwa orang yang berilmu belum tentu bisa berlaku arif, sebaliknya orang yang arif sudah tentu berilmu.” Dan faktor kearifan inilah salah satu hal yang disebutkan Allah sebagai karunia-Nya kepada Nabi Sulaiman a.s, yang menjadikan Nabiyallah tersebut menjadi pemimpin yang mumpuni, tidak hanya bagi kalangan manusia tapi juga kalangan Jin dan makkhluk Allah lainnya. Hal ini Allah nyatakan dengan Firman-Nya:
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (Q.S.Shaad: 20)
Inilah beberapa hal yang wajib kita cermati sebagai seorang Muslim dalam memilih seorang pemimpin. Semoga kiranya dalam setiap pemilihan kepemimpinan yang diselenggarakan di negeri ini kita mendapat bimbingan dari Allah Ta’ala untuk mendapatkan seorang pemimpin yang diridhai-Nya. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 3 Jumadil Akhir 1439 H / 19 Februari 2018.(Tim Redaksi)