LONDON – Partai Konservatif tengah menggelar pemilihan untuk menentukan pemimpin yang pada akhirnya bakal menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) baru Inggris.
Dalam pemungutan suara putaran pertama yang digelar Kamis, 13 Juni 2019, Boris Johnson unggul dengan perolehan 114 suara dari kolega partainya yang duduk di parlemen Inggris. Boris Johnson menjadi kandidat favorit, pun kini semakin dekat untuk menduduki jabatan Perdana Menteri Inggris.
Siapakah sebenarnya Boris Johnson? Mengapa sosok ini disebut kontroversial sehingga banyak yang tidak mengira dirinya bakal favorit sebagai PM?
Majunya Boris Johnson sebagai salah satu kandidat pemimpin Partai Konservatif yang akan menempati jabatan Perdana Menteri Inggris memang menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung menilai politisi berusia 54 tahun ini adalah sosok yang paling tepat untuk memimpin Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Boris dinilai sebagai antitesis Theresa May, yang dianggap banyak pihak terlalu lemah dan tidak tegas dalam bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mencapai kesepakatan Brexit yang terbaik bagi ke dua belah pihak.
Sementara pemilih akar rumput Partai Konservatif menyukai pembawaan Boris yang kharismatik, humoris, sekaligus santai. Hal itu membawanya selalu unggul telak di survei. Bahkan survei terbaru dari Conservative Home menunjukkan sebesar 54 persen responden menginginkan Boris menjadi Perdana Menteri.
Akan tetapi tidak sedikit juga yang mengaku khawatir apa bila nantinya Boris benar akan memegang kunci 10 Downing Street. Salah satu yang mengungkapkan kekhawatiran itu adalah Kenneth Clarke, anggota parlemen paling senior dari Partai Konservatif yang menyebut kolega dari partainya yang cemas.
“Sebagian sangat khawatir dengan kemungkinan dia (Boris) menjadi Perdana Menteri. Ini bukan reality show. Kita tidak memilih pemenang kontes, yang kita bahas adalah pemerintahan dan kebijakan,” ujarnya, sebagai mana dikutip dari kompas.com.
Di samping itu, Clarke menyebut jika Boris tidak tahu apa yang dia ingin lakukan jika nantinya menjabat sebagai perdana menteri
Para kritikus menyindir Boris sebagai sosok yang hanya tahu bagaimana memainkan hati publik demi meningkatkan popularitasnya. Dengan gaya rambutnya yang kerap acak-acakan dan cara berpakaian yang tidak rapi, kerap membuat dia dibandingkan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Selain itu, sosok yang menghabiskan masa mudanya sebagai jurnalis ini juga kerap dikecam sebagai oportunis politik yang hanya menginginkan kekuasaan. Banyak yang terkejut ketika Boris menyatakan berkampanye mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa pada referendum 2016.
Mereka menilai Boris memilih posisi politik itu demi memuluskan ambisinya menjadi perdana menteri. Setelah kemenangan kubu yang memilih keluar dari Uni Eropa dalam referendum, Boris sempat diramalkan akan menjadi perdana menteri menggantikan David Cameron.
Ternyata dia memutuskan tidak mencalonkan diri, setelah mantan sekutu politiknya Michael Gove memutuskan maju dalam pemilihan. Boris sempat ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri oleh Theresa May.
Jabatan itu hanya diembannya selama 2 tahun. Dia mengundurkan diri pada Juli 2018, disebabkan perbedaan pendapat dengan May mengenai kesepakatan Brexit. May menurutnya terlalu lemah. Setelah menunggu tiga tahun, Boris tampak lebih matang mempersiapkan kampanyenya.
Gove yang saat ini menjabat sebagai Menteri Lingkungan, Pangan, dan Urusan Rural kembali menjadi salah satu lawan terkuatnya, selain juga ada nama Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt.
Salah satu janji kampanye Boris yang paling lantang dia suarakan akan membawa keluar Inggris dari Uni Eropa pada 31 Oktober, baik dengan kesepakatan ataupun tanpa kesepakatan Brexit.
Editor : ST2