Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
“Kematian” adalah salah satu ketetapan Allah yang sudah pasti akan terjadi dan akan dialami oleh setiap makhluk dengan berbagai sebab yang dikehendaki Allah, baik dalam kondisi sehat wal’afiat ataupun dalam keadaan sakit. Dan tatkala “malaikat maut” datang menjemput, maka tidak ada tempat untuk melarikan diri atau bersembunyi darinya, dan juga kata “tunggu” atau “nanti” yang bisa menundanya sebagaimana yang tersirat dalam Firman Allah:
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (Q.S. An-Nisaa’: 78)
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf: 34)
Berkaitan dengan masalah kematian tersebut, kita tentu pernah melihat seseorang ; entah itu anggota keluarga sendiri atau orang lain yang sedang berada dalam keadaan “sakaratul maut”; sa’at-sa’at dimana ia akan menghembuskan nafasnya yang terakhir sebelum akhirnya meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Lalu apakah yang kita lihat?
Pada waktu itu mungkin kita lihat yang sedang sakaratul maut tersebut berada dalam keadaan tenang, hanya nafasnya saja yang kelihatan sangat menyesakkan. Atau ada juga yang berada dalam kegelisahan yang panjang dan ada juga yang mengeluarkan dengkuran keras atau bisa jadi berteriak-teriak kesakitan. Akan tetapi apapun dan bagaimanapun keadaan mereka ketika sakaratul maut tersebut, maka sesungguhnya mereka semua berada dalam keadaan yang sangat mencekam dan mencemaskan, bahkan sangat ketakutan.
Dalam hal ini, mengutip “atsar” atsar dari Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a; Imam Al-Ghazali menerangkan: “Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejap, lalu menceritakan pengalaman sakaratul mautnya pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan kalian akan mulai menangisi diri kalian sendiri.”
Oleh sebab itulah bagi orang-orang yang sadar akan ketetapan Allah ini, mereka pasti akan mempersiapkan dirinya dengan sebaik mungkin untuk menyambut kedatangannya. Sementara bagi orang-orang yang lalai; terutama bagi “pencinta dunia”, maka sebanyak apapun mereka pernah melihat atau menyaksikan saudara; kerabat; teman atau tetangganya meninggalkan dunia yang fana ini, bahkan ikut mengurus jenazah dan mengantarkannya ke kuburan, buat mereka mungkin hal itu adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Padahal ketika suatu sa’at mereka di datangi oleh seorang polisi untuk ditanyai tentang suatu perkara, tentulah mereka akan kalang kabut diliputi rasa cemas dan takut. Jadi sudah seharusnya orang yang beriman kepada Allah dan kematian yang setiap sa’at bisa datang menjemputnya wajib merasa lebih takut dan cemas dengan keadaan dirinya.
Berkaitan dengan Firman Allah dalam Surah An-Nazi’at ayat 1: “Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras.” Dikisahkan oleh Imam Ghazali, bahwa dalam sebuah riwayat diceritakan tentang keinginan Nabi Ibrahim a.s untuk melihat wajah Malaikat Maut ketika mencabut nyawa orang zalim. Lalu dengan izin Allah kepada beliau diperlihatkan gambaran perupaan Malaikatul Maut sebagai seorang pria besar berkulit legam, rambut berdiri, berbau busuk, memiliki dua mata, satu didepan satu dibelakang, mengenakan pakaian serba hitam, sangat menakutkan, dari mulutnya keluar jilatan api. Dan beberapa sa’at setelah Nabi Ibrahim as melihatnya, beliaupun pingsan tak sadarkan diri. Kemudian setelah sadar Nabi Ibrahim pun berkata, bahwa hanya dengan memandang wajah Malaikatul Maut seperti itu saja, rasanya sudah cukup bagi seorang pelaku kejahatan untuk menerima ganjaran hukuman kejahatannya, padahal hukuman Allah yang menunggunya di akhirat, jauh lebih dahsyat dari apa yang ia lihat. Dan keadaan inilah yang diperingatkan Allah kepada kita di dalam Kitabullah, sebagaimana firman-Nya:
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu.” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyom-bongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Q.S. Al-An’aam: 93)
Sementara yang berkaitan Firman Allah pada ayat 2 Surah An-Nazi’at tersebut: “dan malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan lemah-lembut.” Maka dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad; Abu Dawud; Al-Hakim; Ibnu Abi Syaibah;Al-Baihaqi dan yang lainnya dari Al-Barra’ ibnu Azib, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin, apabila berada di masa peralihan dari meninggalkan dunia menuju akhirat (dalam proses sakaratul maut), maka para Malaikat turun dari langit menghampiri dirinya.Wajah mereka (malaikat tersebut) putih bagaikan matahari. Mereka membawa kain kafan dan minyak wangi dari surga, lalu duduk di sekitarnya sejauh mata memandang (lantaran banyaknya Malaikat yang datang). Kemudian datanglah Malaikat Maut dan duduk dekat kepalanya lalu berkata: “Wahai ruh yang tenang, keluarlah engkau menuju keampunan dan keridhaan Allah.” Lalu ruh orang mukmin itupun keluar perlahan-lahan seperti air yang menetes dari bejana, sekalipun kalian tidak bisa melihatnya seperti itu. Selanjutnya Malaikat Maut mengambil ruh tersebut lalu memasukkannya ke dalam kain kafan dan minyak wangi yang dibawanya dan tidak membiarkan ruh tersebut berlama-lama dalam genggaman tangannya…”
Dalam “Al-Ihya” Imam Al-Ghazali menjelaskan, bahwa bagaimanapun ringannya Malaikat Maut mencabut nyawa orang yang beriman di saat sakaratul mautnya, tetap saja ia akan merasakan rasa pedih dan sakit yang luarbiasa. Hal ini dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali; Bahwa ketika Nabi Musa a.s sedang sakaratul maut, Allah bertanya kepadanya: “Wahai Musa, bagaimana kamu merasakan kematian itu?” Nabi Musa menjawab: “Saya mendapatkan diri saya seperti seekor kambing yang sedang dikuliti hidup-hidup oleh seorang tukang jagal.”
Diriwayatkan juga, bahwa tatkala Nabi Ibrahim a.s sedang sakaratul maut, Allah juga bertanya: “Wahai kekasihku, bagaimana kamu merasakan kematian?”. Maka Nabi Ibrahim menjawab: “Seperti tusukan besi yang dipanaskan lalu diletakkan di tengah bulu-bulu wol, lalu ditarik”. Kemudian Allah berfirman: “Padahal Kami telah meringankan pedihnya sakaratul maut itu kepadamu wahai Ibrahim”.
Dalam satu riwayat yang lain juga dikisahkan: Ketika Nabi Idris a.s didatangi oleh malaikat Izroil, Nabi Idris meminta tolong kepada Izroil: “Cabutlah nyawaku, kemudian Allah menghidupkan aku kembali, sehingga aku dapat beribadah lebih giat lagi kepada Allah setelah merasakan betapa perihnya sakaratul maut itu!” Lalu atas izin Allah, Izroil mencabut nyawa Nabi Idris Alaihisallam. Dan dengan izin Allah kemudian Nabi Idris dihidupkan kembali. Lalu Izroil bertanya kepada Nabi Idris tentang sakaratul maut yang telah dialaminya. Nabi Idris: “Sesungguhnya, rasa sakaratul maut itu ku umpamakan seperti binatang hidup yang dikelupas kulitnya (dikuliti hidup-hidup) dan rasanya bahkan seribu kali lebih sakit!” Kemudian Izroil berkata: “Sesungguhnya tadi aku telah mencabut nyawamu secara halus dan hati-hati dan sungguh hal itu tak pernah kulakukan sebelumnya kepada orang lain selain dirimu.”
Bahkan dalam satu riwayat dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW berujar kepada Jibril a.s yang hadir tatkala beliau sakaratul maut, bahwa sakaratul maut yang beliau alami sangatlah terasa sakit dan pedih. Dan adapun rasa sakit dan perihnya sakaratul maut tersebut masih tetap dirasakan oleh “si mati” dalam kurun waktu yang panjang sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Al-Ghazali; Bahwa suatu ketika ada sekelompok Bani Israil yang sedang melewati sebuah pekuburan, kemudian mereka berdoa pada Allah agar salah satu mayat dari pekuburan itu dihidupkan, karena mereka ingin mengetahui gambaran sakaratul maut yang telah dialaminya. Lalu dengan izin Allah secara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan dan berkata: “Wahai manusia !”, apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum juga hilang dariku.”
Oleh hal yang demikian itulah kita perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, agar pada sa’atnya tatkala kita berada dalam sakaratul maut Allah berkenan menolong kita dengan sebaik-baik dan seringan-ringannya sakaratul maut. Dan salah satu caranya adalah dengan senantiasa mengingatkan diri, bahwa suatu ketika nanti kita pasti akan mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh “Imam At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a”; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah oleh kalian untuk mengingat penghancur segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” Semoga dengan hal itu iman dan keta’atan kita kepada Allah senantiasa terjaga dan dengan itupula Allah akan menolong kita dalam menghadapi pedih dan perihnya sakaratul maut. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 17 Jumadil Akhir 1439 H / 5 Maret 2018.