Konflik. Ya. Itulah hidup. Konflik jika dimaknai positif ia mampu melahirkan gerak yang dinamis. Sebab ia bermakna perbedaan. Tetapi konflik (dalam makna negatif) sering bermuara dari sikap arogansi untuk sekedar menunjukkan eksistensi. Konflik Duri adalah contoh terbaik bagaimana arogansi diri akhirnya menjadi bomerang bagi keutuhan persaudaraan dan persahabatan. Syukurlah konflik fisik bisa dihindari dan izin yang dikeluarkan, meskipun untuk membangun rumah pribadi dicabut oleh Amril Mukminin, Bupati Bengaklis.
Sumatratimes.com – Dalam wawancara jarak jauh dengan Buya HAMKA RIAU, seorang tokoh Melayu Duri menanyakan apa sesungguhnya yang teradi di Duri, tepatnya di Jalan Rangau, KM-7, Kelurahan Pematang Duku, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis beberapa hari yang lalu, HAMKA RIAU berujar : “Jika peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” tak lagi menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat, disitulah akan muncul konflik, tegasnya.
“LAM sudah cukup toleran dan sudah diadakan pertemuan beberapa kali. Pertemuan terakhir direncanakan Jum’at 23/2/2018, meminta klarifikasi apa saja acaranya, pihak yang diajak bicara tidak datang. Dan terjadilah peristiwa 3 Maret 2018”, imbuhnya
Suara Buya sedikit menaik ketika beliau mengatakan : “Tidak boleh ada rumah Adat di bumi Melayu Lancang Kuning selain dari rumah Adat Riau”. “Ini bukan Taman Mini Indonesia Indah dimana semua bangunan rumah Adat bisa dibuat. Ditingkat Propinsi pun yang boleh dibangun adalah rumah adat masing-masing Kabupaten di Riau (12 Kabupaten/Kota)”.
LAM Duri 3 Maret 2018 memang turun ke jalan, dikomandoi Datuk H. Dzulkifli Indra beserta Lasykarnya, membawa massa untuk membubarkan acara Yayasan Raja Tawar Mula Jadi yang ditengarai membangun rumah adat Batak di wilayah tersebut.
Namun sayang ketika Sumatratimes.com ingin mengkonfirmasi kepada Datuk Dzulkifli Indra lewat telepon selulernya, nada selulernya tidak bisa dihubungi.
Sumatratimes.com akhirnya melajutkan pembicaraan dengan Buya. Suaranya tetap menggelegar sebagaimana beliau berceramah. Beliau menegaskan, “Senin, 05 Maret 2018, akan ada pertemuan lanjutan dengan Bupati Bengkalis, H. Amril Mukminin. Bupati berjanji akan mencabut izin bangunan Yayasan Raja Tawar Mulia Jadi yang berlokasi di Jalan Rangau KM-7, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis dimana peruntukannya untuk membangun rumah pribadi.
“Kemarahan Buya bisa difahami sebab LAM bukanlah Lembaga jadian. LAM Riau hadir melalui Perda Nomor 1 Tahun 2012, dan berada digaris terdepan menjaga adat-istiadat Melayu Riau dan pelestariannya di dalam masyarakat.
Menyebut HAMKA RIAU, teringat pula pesan Buya HAMKA dalam Seminar Sejarah Riau, di Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru, 20-25 Mei 1975. HAMKA menyerukan kepada para angkatan muda, agar mereka tidak meninggalkan huruf pusaka Islam di Tanah Melayu, yaitu huruf Jawi, huruf Melayu atau huruf Pegon.
Buya HAMKA berpesan “Dan kepada sarjana-sarjana Angkatan Muda di Riau baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, jangan diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di Malaysia disebut Huruf Jawi, sedang di Indonesia di disebut huruf Melayu. Kasihan huruf pusaka Islam itu. Indonesia menolak Melayu, Malaysia menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu. Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkeslah yang menggalinya, Hamzah Fansuri digali oleh Doorensbos, Syamsuddin Sumantri digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak sampai ke sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana Barat itu.” [Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.174. ]
Konteksnya mungkin berbeda, tapi esensinya sama. Butuh kearifan memegang amanah agar semua bisa memahami dan menjaga diri dan tidak terulang lagi dimasa yang akan datang. Konflik memang dibutuhkan dalam hidup, jika konflik bermakna perbedaan. Tapi konflik juga bisa menghancurkan struktur sosial kemasyarakatan, jika berujung pada konflik fisik dan akan melahirkan luka yang cukup lama.
Semoga LAM Riau semakin Berjaya menjaga martabat anak negeri dan mengkaji naskah Melayu Masa Lalu untuk disuguhkan ke Ibu Pertiwi bahwa Melayu itu penyumbang peradaban diseantero negeri ***
(Tim Redaksi Sumatratimes.com)