JAKARTA –15 September 2009, menjadi hari kelam dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebagai mana diberitakan tirto.id, sepuluh tahun lalu, dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto, dan Chandra M Hamzah, diseret penyidik polisi dalam sebuah kasus yang diduga kuat sebagai upaya pelemahan KPK – dikenal sebagai ‘Cicak vs Buaya’.
Mula-mula dijadikan tersangka dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Bibit dan Chandra dituding polisi melakukan pemerasan terhadap Anggoro dan Anggodo Widjojo, dua saudara tersangka korupsi sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan.
Tuduhan terhadap Bibit dan Chandra nyatanya adalah upaya kriminalisasi, terbongkar dalam rekaman pembicaraan pada sidang Mahkamah Konstitusi, 3 November 2009.
Ketua Tim Penyidik dalam kasus ‘Cicak vs Buaya’ kala itu, Kombes Pol Yovianes Mahar, menjabat Kasubdit V Dit I/Kamtrannas Bareskrim Polri. Kasus itu berdampak besar bagi karier Mahar hingga memperoleh jabatan sebagai Direktur III/Tipidkor Bareskrim Polri, dan kenaikan pangkat sebagai Brigjen pada 5 Juli 2009.
Sebelum pensiun, Mahar menjabat Staf Ahli Manajemen Polri pada 2017 dengan pangkat Ispektur Jendral (Irjen). Kini, Mahar masuk dalam 192 kandidat calon pimpinan KPK yang lolos syarat administrasi, menurut penilaian panitia seleksi KPK pekan lalu.
Bibit, yang dimintai pendapatnya oleh Tirto, berkata ‘tidak mempersoalkan’ lolosnya Mahar sebagai Calon Pimpinan (Capim) KPK, sebab hal itu wewenang panitia seleksi. “Aku bukan pendendam,” kata Bibit, yang pernah menjabat Kapolda Kalimantan Timur 1997-2000.
“Kalau panitia enggak melihat (kriminalisasi terhadap KPK sebagai persyaratan), ngapain aku persoalkan?,” ujarnya.
Mahar bukan satu-satunya purnawirawan Polri yang lolos seleksi Capim KPK. Ada enam sejawatnya: Komjen Anang Iskandar, Komjen Boy Salamuddin, Irjen Hengkie Kaluara, Kombes Kharles Simanjuntak, Irjen Suedi Husein, dan Irjen Yotje Mende.
Selain mereka, ada 11 polisi aktif yang lolos tahap administrasi Capim KPK, diantaranya Irjen Antam Novambar (Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri), Irjen Dharma Pongrekun (Pejabat Tinggi Bareskrim pada Badan Siber dan Sandi Negara), dan Irjen Ike Edwin (Staf Ahli Sosial Politik Kapolri).
Menariknya, semua kandidat dari unsur Polri lolos seleksi tahap pertama – menimbulkan kecurigaan bahwa langkah ini merupakan jalan perwira Polri menguasai pucuk pimpinan KPK. Apa lagi sejumlah ahli dari Pansel KPK adalah orang-orang dengan kemampuannya dipakai oleh kepolisian, di antaranya Hendardi (Penasihat Kapolri dalam urusan Hak Asasi Manusia), Al Araf (Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan Yenti Garnasih yang biasa membantu Polri dalam kasus-kasus pencucian uang).
Meski begitu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo membantah tudingan ihwal motivasi para perwira dari Trunojoyo, menguasai Gedung Merah Putih KPK. Tak ada target Polri menempatkan orang-orangnya di komisi anti rasuah itu.
“Yang jelas Polri menunjuk orang-orang terpilih,” kata Dedi.
Ia menambahkan Irjen (Purn) Basaria Panjaitan, kini salah satu pimpinan KPK, yakin bisa terpilih kembali.
Basaria adalah mantan staf ahli sosial politik Kapolri era Jenderal Badrodin Haiti pada 2015. Selain dia, Brigjen Agung Makbul, berpeluang lolos tahap seleksi berikutnya. Mantan Kapolres Jaya Wijaya tahun 2003 ini menempuh karier selama delapan tahun di Divisi Hukum Polri dan kawan seangkatan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Akpol 1987).
Nama lain adalah Irjen Ike Edwin, lulusan Akpol 1985, yang dinilai berhasil mengungkap kasus korupsi pajak Gayus Halomoan Partahan Tambunan saat menjabat sebagai Kapolwitabes Surabaya pada 2010.
Irjen Ike Edwin, menampilkan perwira Bhayangkara dengan citra sederhana saat mendaftarkan diri sebagai Capim KPK: Ia menumpang taksi, diantar oleh anak dan istrinya – yang tersebar di media sosial. Tetapi, Edwin tidak terlalu patuh menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, terakhir kali pada 19 Maret 2009 saat menjabat Kapolres Metro Jakarta Pusat—dengan kekayaan Rp218 juta saja.
Kandidat dari pejabat tinggi Polri lain yang belum melaporkan harta kekayaan terbarunya adalah Brigjen Akhmad Wiyagus (laporan terakhir Juni 2014 sebesar Rp392 juta), Brigjen Agung Makbul (Juni 2014, Rp1,8 miliar), Brigjen Bambang Sri Herwanto (Desember 2014, Rp5 miliar), Irjen Juansih (5 Oktober 2007, Rp1 miliar), Brigjen M Iswandi Hari (Agustus 2015, Rp1,2 miliar), dan Brigjen Sri Handayani (November 2007, Rp1,4 miliar).
Sementara yang sudah melaporkan tapi terlambat adalah Irjen Antam Novambar (Juli 2019, Rp6,6 miliar), dan Irjen Dharma Pongrekun (Mei 2019, Rp9,7 miliar). Adapun yang taat melaporkan harta kekayaan adalah Brigjen Darmawan Sutawijaya (Januari 2019, Rp14,9 miliar), dan Irjen Firli Bahuri (Maret 2019, Rp18,2 miliar).
Kandidat dari purnawirawan Polri sama saja. Ada yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya. Mereka adalah Anang Iskandar (terakhir November 2009, Rp2,4 miliar), Boy Salamuddin (Agustus 2013, Rp11,7 miliar), Suedi Husein (Mei 2010, Rp3,2 miliar), Yovianes Mahar (Juli 2002, Rp254 juta), dan Yotje Mende (November 2007, Rp1,7 miliar).
Adapun Hengkie Kaluara dan Kharles Simanjuntak sama sekali belum pernah melaporkan harta kekayaannya. Poin pejabat yang bandel menyampaikan laporan kekayaannya secara rutin itu jadi sorotan penggiat antikorupsi justru terutama mereka kelak menduduki posisi puncak KPK.
“Harusnya ini dijadikan salah satu poin penilaian administrasi (pansel), bagaimanapun kepatuhan melaporkan LHKPN menjadi indikator integritas pejabat publik,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pekan lalu.
Bagai manapun, dalam undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, pejabat publik wajib secara berkala melaporkan harta bendanya kepada KPK.
“Jika menemukan para penyelenggara negara, aparatur sipil negara ataupun penegak hukum yang belum pernah atau tidak memperbarui LHKPN-nya, sudah sewajarnya Pansel KPK tidak meloloskan calon tersebut,” menurut Kurnia.
Namun, Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih, menanggapinya berbeda. Ia berkata laporan harta kekayaan itu tidak jadi syarat wajib pada tahap seleksi administrasi.
“Dalam Undang-Undang KPK, pada waktu bersangkutan terpilih baru bersedia mendatangani surat pernyataan menyampaikan LHKPN. Yang lima (pimpinan terpilih) nanti (menyampaikannya),” alasan Yenti, pekan lalu.
Rekam Jejak Kandidat dari Pati Polri, betapapun Kapolri Tito Karnavian berulangkali berkata Korps Bhayangkara merekomendasi personel terbaiknya untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK, namun pada praktiknya, sebagian nama-nama ini diduga terlibat dalam upaya pelemahan KPK.
Irjen Antam Novambar, misalnya, dalam laporan Tempo edisi 20 Januari 2015 diduga mengancam Kombes Endang Tarsa, saat itu Direktur Penyidikan KPK. Endang disebut diminta menjadi saksi meringankan dalam perkara Budi Gunawan atas penetapan tersangka di KPK.
Antam menampik kabar tersebut. Sementara Irjen Dharma Pongrekun, yang pernah menjabat Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, diketahui yang meneken surat pemanggilan untuk Novel Baswedan terkait dugaan penganiayaan berat hingga menyebabkan tewasnya pelaku pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Selain itu ada Irjen Firli Bahuri, Kapolda Sumatera Selatan, saat bertugas sebagai Direktur Penindakan KPK diduga melanggar kode etik lantaran bertemu dan bermain tenis dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat saat itu, Muhammad Zainul Majdi, pada 13 Mei 2018.
Padahal saat itu, Tuan Guru Bajang menjadi saksi dalam sebuah kasus yang sedang ditangani KPK. Menanggapi rekam jejak ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo menekankan institusinya hanya melihat kandidat Capim KPK yang direkomendasi Kapolri dari internalnya sendiri.
Dedi berkata, Firli tidak ada masalah dengan rekam jejak di Trunojoyo—markas besar Polri. Namun, di luar itu, Korps Bhayangkara tidak mengurusinya. “Itu urusan internal di KPK. Enggak ngurus kita. Enggak tahu kita. Enggak ngerti masalahnya. Di polisi, Firli enggak ada masalah,” kata Dedi.
Editor: Amran