Pada suatu malam, ketika “amirul mukminin” Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang sibuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Sesaat setelah beliau menjawab salam yang didengarnya, maka masuklah seorang laki-laki paruh baya menghadapnya. Dan setelah dipersilahkan duduk dan bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangannya, laki-laki itupun bicara: “Wahai amirul mukminin, sebelumnya hambamohon ampun dan maaf jika kedatangan hamba ini mengganggu ketentraman dan juga kesibukan pekerjaan yang tuan hadapi.”
Umar bin Abdul Azizi lalu menjawab: “Tidak ada yang perlu dimaafkan wahai hamba Allah. Sebab sebagai orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin dan mengurus satu negeri dan rakyat yang ada di dalamnya, maka sudah selayaknyalah hamba menerima kedatangan anda dan semaksimal mungkin memberikan bantuan jika hal itu memang anda perlukan. Oleh karenanya, silahkan sampaikan apa yang perlu disampaikan. Jangan merasa sungkan lantaran kedudukan dan jabatan hamba saat ini”
Setelah mendengar apa yang disampaikan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, laki-laki itupun berujar: “Wahai amirul mukminin, saat ini rumah hamba sedang gelap gulita. Anak-anak hamba menangis ketakutan lantaran gelap. Kami tidak punya setetespun minyak atau sesuatu apapun yang dapat menyalakan lampu. Oleh hal yang demikian itulah hamba memberanikan diri untuk datang ke hadapan tuan, meminta bantuan minyak atau apa saja yang dapat menerangi rumah hamba malam mini.”
Pada saat itu kebetulan di dekat Umar bin Abdul Aziz ada dua buah lampu yang sedang menyala, dan tanpa bicara sepatah katapun “sang khalifah” lalu mengambil salah satu lampu kemudian memberikannya kepada laki-laki tersebut sembari berujar: “Ambillah lampu ini, bawalah pulang ke rumahmu agar anak-anakmu tidak lagi ketakutan. Dan jika sewaktu-waktu ada keperluan lain datanglah kesini. In syaa’ Allah dengan izin-Nya dapat pula saya membantunya.”
Selanjutnya setelah mengucapkan terima kasih laki-laki itu beranjak dari hadapan Umar bin Abdul Aziz. Akan tetapi bebarapa saat kemudian ketika ia sampai di pintu gerbang kediaman “sang khalifah”, langkahnya dihentikan oleh salah seorang penjaga yang ada disitu yang kemudian bertanya kepadanya: “Wahai hamba Allah, apakah engkau meminta lampu itu kepada amirul mukminin?”
Laki-laki itupun menjawab: “Benar, karena saat ini rumahku sedang gelap gulita dan beliau memberikan lampu ini kepadaku.”
Mendengar ucapan laki-laki tersebut si penjaga pintu gerbang kemudian berkata: “Wahai saudaraku, amirul mukminin kita memang seorang hamba Allah yang terpuji dan senantiasa memperhatikan dan selalu berupaya memenuhi keperluan rakyat yang dipimpinnya. Bahkan adakalanya untuk itu beliau melupakan apa yang diperlukan oleh keluarganya dan mengenyampingkan apa yang menjadi kepentingan pribadinya. Sekarang maukah engkau berbalik memandang ke belakang agak sejenak?”
Memenuhi permintaan si penjaga, maka laki-laki tersebut segera berbalik melihat ke kediaman “amirul mukminin” Umar bin Abdul Aziz. Dan laki-laki itu sangat terkejut ketika ia melihat rumah kediaman Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan gelap gulita. Dan tentu saja dia tidak habis piker lantaran sewaktu meninggalkan rumah itu masih ada lampu yang menyala. Kemudian iapub bertanya kepada si penjaga tentang apa sebenarnya yang terjadi di rumah tersebut.
Penjaga pintu gerbang rumah kediaman Umar bin Abdul Aziz itupun menjelaskan, bahwa sebenarnya “amirul mukminin” juga tidak punya cadangan “minyak” guna menyalakan lampu di rumahnya; baik untuk keperluan keluarga maupun untuk beliau mengerjakan tugas-tugas yang ada. Kalau tadi sewaktu laki-laki tersebut masuk ke dalam rumah dan melihat ada dua buah lampu yang menyala, maka sebenarnya lampu yang satu sudah mulai kering atau habis minyaknya dan yang satu lagi baru saja dinyalakan untuk mengantisipasi kalau-kalau nyala lampu yang sudah habis minyak tersebut segera padam. Dan itu dilakukan agar pekerjaan amirul mukminin tidak terganggu.
Mendapat penjelasan dari si penjaga tersebut, maka bergegaslah laki-laki itu berbalik ke kediaman Umar bin Abdul Aziz. Setelah salamnya dijawab, laki-laki itu kemudian duduk bersimpuh di hadapan Umar bin Abdul Aziz seraya berkata: “Wahai amirul mukminin, sungguh hamba minta maaf yang telah lancang mengganggu kenyamanan dan kesibukan tuan bekerja. Sungguh hamba tidak mengetahui, bahwa tuan sangat memerlukan lampu yang kubawa ini. Untuk itu terimalah kembali lampu ini, hamba ikhlas dan rela mala mini menerima ketentuan Allah yang tetapkan kepada kami…”
Belum lagi habis perkataan yang ingin diucapkan laki-laki tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berujar: “Tidaklah demikian halnya wahai saudaraku, lampu itu sudah kuberikan kepadamu dan menjadi hak anda seutuhnya. Saya bukannya tidak mau menerima kebaikanmu, tapi saya takut pada kemurkaan Allah. Sebab saat ini Allah telah memberikan tugas kepada saya untuk melindungi dan mensejahterakan orang-orang yang diamanahkan kepada saya. Pulanglah segera, kasihan anak isterimu telah lama menunggu dalam kegelapan.”
Laki-laki itu menggigil mendengar ucapan Umar bin Abdul Aziz, dengan berlinang air mata dia melangkah perlahan meninggalkan “amirul mukminin” dalam kegelapan. Dan bagi kita inilah salah satu “akhlaqul karimah” yang perlu diteladani oleh orang yang mengaku berima kepada Allah dan Hari Kemudian; khususnya bagi mereka yangdiberi amanah untuk memimpin atau yang berangan-angan untuk jadi pemimpin. Wallahua’lam
Bagansiapiapi, 25 Rabi’ul Akhir 1439 H / 12 Januari 2018
KH.BACHTIAR AHMAD