.Oleh: KH. Bachtiar Ahmad
“Arogansi” secara umum maknanya adalah “memiliki sifat arogan”. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) makna “arogan” adalah: “merasa memiliki perasaan superioritas atau merasa diri sangat hebat yang dijabarkan dengan penuh kesombongan dan adakalanya suka memaksakan kehendak; terutama ketika diri sedang berkuasa atau memilik jabatan penting. Dan berkaitan dengan hal ini, maka tumbuhnya arogansi atau adanya kesombongan atau kecongkakan di dalam diri seseorang adalah suatu perkara yang sangat buruk yang sangat dibenci oleh Allah. Sebab keadaan inilah yang menyebabkan “Iblis” laknatullah diusir Allah dari surge sebagaimana Firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis; dia tidak termasuk mereka yang bersujud.// Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?”, menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”// Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah; Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (Q.S. Al-A’raaf: 11-13)
Dan sebagaimana halnya Iblis laknatullah yang sudah diusir dan terusir dari surganya Allah, maka orang-orang yang sombong pun pada akhirnya tentulah tidak akan dapat merasakan manisnya sorga, sekalipun kesombongan itu hanya tersirat di dalam hati dan sebesar dzarrah (bagian atom yang terkecil), sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak akan masuk ke sorga, siapa yang di dalam hatinya ada ke-sombongan, sekalipun sebesar dzarrah.” (HR.Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a)
Dan tentu saja keadaannya akan jadi lebih parah lagi, jika yang memiliki kesombogan itu adalah orang-orang yang diberikan amanah oleh Allah sebagai pemimpin atau para penguasa. Sebab dengan arogasi kekuasaan itu, sebenarnya mereka telah merampas dan menggunakan apa yang sebenarnya menjadi “hak Allah”, sebagaimana yang tersirat dalam sebuah hadis qudsi; Bahwa Allah telah berfirman:
“Kemulyaan itu adalah pakaian-Ku; dan kesombongan (kebesaran) itu selendang-Ku; maka siapa yang menyaingi Aku dalam salah satunya, maka tentulah Aku akan menyiksanya.” (HQR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)
Sementara di sisi lain, sebenarnya kekuasaan yang di-amanahkan Allah kepada mereka itu sesungguhnya hanyalah semacam ujian belaka, sebagaimana yang diperingatkan Allah dengan firman-Nya:
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’aam: 165)
Seseorang yang diberi amanah kekuasaan oleh Allah SWT, seharusnya mau belajar banyak dari “sejarah” masa lalu; Baik yang telah dikisahkan Allah melalui firman-Nya di dalam Al-Quran, maupun dari buku atau catatan sejarah manusia yang ada di muka bumi ini.
Bacalah Al-Qur’an dan simaklah bagaimana akhir kesudahan kaum ‘Aad dan Tsamud serta Fir’aun yang sangat arogan dengan kekuasaan yang diamanahkan Allah kepada mereka. Dan simak pula sejarah manusia tentang bagaimana kesudahannya penguasa-penguasa seperti; Hitler; Mussolini; Stalin; Mao Tse Tung dan yang lainnya, ketika menjadi sangat arogan dengan kekuasaan yang berhasil mereka genggam pada sa’at itu. Semuanya mengalami nasib tragis dan mendapatkan kehinaan di akhir kekuasaan yang mereka miliki. Padahal tadinya mereka berjuang dengan penuh idealisme untuk membuat dan menciptakan perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat ataupun bangsanya.
Arogansi kekuasaan telah menjadikan seseorang yang berkuasa lupa diri, bahkan lupa pada Allah Yang Maha Berkuasa yang telah memberikan kekuasaan itu pada mereka; Mereka tidak lagi tidak lagi mau mendengarkan kata orang lain dan cenderung dengan kebenaran yang ada dalam pemikiran mereka sendiri dan sangat anti dengan kritik-kritik yang sebenarnya ingin meluruskan jalannya kekuasaan yang mereka miliki. Para pemilik arogansi kekuasaan tidak akan segan-segan memutuskan silaturahmi, membuat kerusakan atau merusak tatanan kehidupan, bahkan mengorbankan orang lain untuk mempertahankan kekuasaan yang mereka miliki. Dan hal inilah sebenarnya yang telah diperingatkan Allah dengan firman-Nya:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? // Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibuta-kan-Nya penglihatan mereka. (Q.S. Muhammad: 22-23)
Seseorang yang memiliki arogansi kekuasaan pada hakikatnya telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai kiblat, bahkan menjadikannya sebagai Tuhan dalam menjalankan kekuasaannya. Dan orang yang semacam inilah yang disindir Allah SWT dalam firman-Nya:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya; maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? // Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S. Al-Furqan: 43-44)
Sedangkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW telah memberikan peringatan kepada siapa saja yang diserahi amanah kekuasaan kepadanya:
“Tiada seorangpun yang diamanahkan oleh Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. Mutafaq ‘alaihi dari Abu Ja’la bin Jasar r.a)
Akan tetapi walaupun sudah demikian jelasnya Allah dan rasul-Nya memberikan pengajaran, banyak di antara kita yang dengan terang-terangan berusaha menolong dan membantu si pemilik arogansi kekuasaan untuk terus berkuasa dan atau mempertahankan kekuasaan mereka dengan berbagai cara; Baik untuk kepentingan yang bersifat pribadi maupun golongannya masing-masing.
Oleh hal-hal yang demikian inilah , maka arogansi kekuasaan tidak hanya tumbuh lantaran adanya kesombongan dalam diri seseorang yang sedang diuji dengan kekuasaan oleh Allah, akan tetapi juga bisa tumbuh lantaran pengaruh orang-orang yang berada di sekitarnya, yang memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk kepentingan pribadi ataupun golongannya. Bahkan acapkali orang-orang yang berada di sekitar sang penguasa; entah itu keluarga; kerabat ataupun kolega-kolega politiknya jauh lebih arogan dari sang penguasa sendiri. Dan keadaan ini pulalah yang menyebabkan sang penguasa makin bertambah sombong dan angkuh dengan kekuasaannya. Sehingga pada akhirnya merekapun saling berkolaborasi atau bekerjasama untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Padahal perbuatan itu jelas merupakan perbuatan tercela yang sangat dimurkai, bahkan dilaknat oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintah yaitu yang kejam, maka janganlah engkau masuk menjadi golongan mereka.” (HR. Mutafaq ‘alaihi dari ‘Aidz bin Amru r.a)
Sebagai orang yang beriman kita memang tidak boleh tidak harus tunduk dan ta’at kepada penguasa yang telah diangkat sebagai pemimpin, kecuali jika diperintah melakukan perbuatan maksiat, sebagaimana yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi walaupun demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali, dalam Risalah Tafsir, ta’at dan tunduk kepada pemimpin yang buruk laku tersebut, bukanlah berarti kita setuju apalagi bersyubhat dengan kejahatan dan kezaliman yang dilakukannya. Sebab pada sisi yang lain, sebagai mukmin kita berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dalam rangka berusaha memperbaiki kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan si pemimpin.
Sekarang semuanya terpulanglah kepada kita; sebab kenyataannya ada di antara kita yang (secara lahiriah) sebenarnya mampu untuk berusaha; berbuat dan berjihad melakukan perubahan-perubahan; akan tetapi nyatanya mereka lebih suka berada dibawah ketiak sang pemilik kekuasaan lantaran takut kehilangan jabatan dan kesempatan. Bagi mereka sang pemilik kekuasaan sudah laksana “Tuhan” yang lain dalam kehidupan mereka. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 1 Jumadil Awal 1439 H / 18 Januari 2018