oleh: KH. Bachtiar Ahmad
=====================
Sumatratimes.com,Rokanhilir – Banyak orang yang memandang dan berpikir tentang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logikanya saja dan sama sekali tak ada kaitannya dengan apa yang telah ditegaskan Allah sebagaimana yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran.
Mereka berpikir, bahwa terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain sebagainya itu hanyalah sebagai fenomena alam saja.
Salah satu kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Termasuk di dalamnya adalah tumbuhnya krisis ekonomi kehidupan yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat seperti hilangnya rasa aman; munculnya beragam kejahatan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan kelompok di atas, maka bagi orang-orang yang beriman tentunya mereka yakin; Bahwa terjadinya bencana di muka bumi ini, adalah sangat erat kaitannya dengan dosa dan tingkah laku yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini setiap orang yang beriman tentulah yakin, bahwa bila umat manusia terus menerus menentang perintah-perintah Allah; melanggar larangan-larangan-Nya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti. Hal inilah yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl: 112)
Untuk kedua ayat di atas, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah.
Oleh sebab itu seyogianyalah kita memahami, bahwa jika umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Sekalipun secara logika di tempat itu tidak ada faktor (kerusakan) alam yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya bencana. Dan ini bisa kita simak dari kondisi bencana yang dalam beberapa kurun waktu ini yang banyak terjadi; khususnya di negeri yang kita cintai ini, maka barangkali dapat kita simpulkan; Bahwa terjadinya bencana tersebut mungkin saja terjadi lantaran banyaknya kemaksiatan dan kedurhakaan yang telah kita lakukan kepada Allah.
Cobalah lihat agak sejenak keadaan di sekitar kita, maka kita dapat menyaksikan berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.
Bahkan ada pula upaya untuk melegalisasi LGBT yang dilaknat Allah. Pertanyaannya sekarang adalah; Mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat atau bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim ini?
Hal tersebut tentu saja adalah lantaran tidak ditegakkannya kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar secara serius; Baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran tersebut. Sebab bagaimanapun juga, maka pemerintahlah yang memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan tindakan amar ma’ruf nahi mungkar tersebut. Walaupun hakikatnya pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar tersebut adalah kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”(HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)
Namun demikian lantaran pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar secara individual tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi dan tidaklah seefektif yang dapat dilakukan oleh pemerintah, maka sejatinya pemerintahlah yang harus lebih bertanggung jawab dalam hal ini. Dan keadaan ini sesuai pula dengan pernyataan Usman bin Affan r.a: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk mencegah kemungkaran dengan sulthan (kekuasaan pemerintah) terhadap apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Sementara itu syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan pula: “Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena itulah Allah mewajibkan kepada setiap pemerintahan untuk menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah)
Selanjutnya dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, maka sudah saatnyalah pemerintah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan setiap individu; khususnya kaum Muslimin meningkatkan nilai ketaatan dan ketakwaan mereka kepada Allah dalam rangka mempersempit tumbuhnya dosa dan kemungkaran terhadap Allah, yang dengan itu Allah berkenan melindungi kita dari bencana demi bencana. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 13 Jumadil Awal 1439 H / 30 Januari 2018.(R1)