Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
Sumatratimes.com.Rokanhilir – “Sholat” adalah salah satu kewajiban bagi orang-orang beriman yang perintahnya diterima oleh Rasulullah SAW ketika beliau bertemu langsung dengan Allah di Sidhratul Muntaha dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj di bulan Rajab di tahun ke 10 masa kenabian. Dan oleh yang demikian inilah , maka sebahagian ulama menyebutkan sebagai “amanah dari langit”.
Satu sebutan yang menggambarkan akan betapa penting dan agungnya “sholat” sebagai ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Sehingga karena begitu penting dan utamanya ibadah tersebut, maka adalah sholat ibadah yang pertama kali yang akan dihisab Allah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis beliau: “Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah sholat. Apabila sholatnya baik tentu seluruh amalannya yang lain pun baik; akan tetapi bila sholatnya jelek maka seluruh amalannya pun tentu jelek.” (HR.Ath-Thabarani dari Anas bin Malik r.a)
Sholat wajib dikerjakan oleh orang beriman yang kondisi pikiran atau ingatannya masih sehat. Tak pandang apakah dia dalam keadaan sehat atau sakit dengan segala aturan dan kemudahan yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku; maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Q.S. Thaa-haa: 14) Dan oleh yang demikian inilah seseorang yang mendirikan sholat dituntut untuk “khusyuk” yang salah satu pemahamannya adalah; benar-benar fokus atau mencurahkan segenap ingatan dan perhatiannya kepada Allah. Akan tetapi banyak di antara kita yang belum mampu untuk sholat dengan khusyuk yang disebabkan oleh berbagai sebab yang bersumber dari kesalahan kita memahami dan menyikapi sholat yang Allah wajibkan tersebut, yang di antaranya menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali adalah:
Pertama: Belum menjadikan sholat sebagai tugas pokok kehidupan. Artinya adalah, banyak yang masih menjadikan sholat sebagai “aktifitas selingan” di antara kesibukan-kesibukan duniawinya. Padahal sholat adalah salah satu kewajiban pokok yang berkaitan dengan risalah atau hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang ditegaskan Allah dengan Firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Kedua: Berkaitan dengan kondisi yang disebutkan pada item pertama di atas, maka ada juga yang menjadikan sholat sebagai sarana dan prasarana diri tatkala berada dalam kesulitan. Artinya hanya sebatas memohon pertolongan ketika membutuhkan bantuan Allah sebagaimana yang disindir Allah dengan Firman-Nya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring; duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, maka dia kembali melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu selalu meman-dang baik apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus: 12)
Ketiga: Sholat didirikan atau dikerjakan menurut selera dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini tanpa adanya situasi dan kondisi darurat yang dibenarkan oleh hukum (syari’at) agama, sholat dikerjakan tidak tepat waktu; enggan berjama’ah; tidak thuma’ninah dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan aturan, syarat dan rukun sholat yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya.
Ke-empat: Beranggapan bahwa sholat hanyalah aktifitas “hablum-minallah” (hubungan diri sendiri dengan Allah) yang tidak ada kaitannya dengan “hablum-minannaas” (hubungan dengan sesama makhluk; khususnya dengan sesama manusia). Padahal secara jelas Allah telah menerangkan dengan Firman-Nya: “Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat; yakni orang yang lalai dari sholatnya; (yakni) orang-orang yang berbuat riya’ (dengan sholatnya) dan enggan menolong (orang lain) dengan barang yang berguna.” (Q.S. Al Ma’uun: 4–7)
Sementara dalam satu hadits qudsi Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hanya menerima shalat dari orang yang melakukannya dengan tawadhu’ (merendahkan diri) karena keagungan-Ku; dan tidak memanjangkan lidahnya (mengumpat dan mencerca) atas makhluk-Ku; dan ia tidak melakukan atau berbuat maksiat dan kedurhakaan kepada-Ku; ia telah menghabiskan siangnya untuk mengingat-Ku; dan ia selalu mengasihani orang-orang miskin; perantau yang kehabisan bekal; janda-janda miskin yang membutuhkan pertolongan; mengasihani orang yang kemalangan. Itulah sinar cahanya dari perbuatan orang-orang yang shalih, bagaikan cahaya matahari. Aku lindungi dirinya demi kebesaran-Ku dan Aku perintahkan para malaikat menjaganya; Aku jadikan baginya dalam gelap gulita cahaya yang terang benderang; dan dalam kebodohannya rasa lapang dada; bandingannya di antara makhluk-Ku adalah laksana surga firdaus di dalam surga..” (HQR. Al-Bazzar dari Abdullah bin Waqid Al-Harrani r.a)
Inilah beberapa hal yang patut kita perhatikan dalam upaya mendirikan sholat dengan khusyuk, sehingga pada akhirnya sholat yang kita dirikan tidak menjadi sia-sia adanya, dengan kata lain mampu menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Firman-Nya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Q.S. Al-Ankabut: 45) – Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 6 Rajab 1439 H / 23 Maret 2018.(Tim Redaksi)