oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Rokanhilir – Di tahun 2018 ini beragam musibah sudah melanda negara yang kita cintai ini; mulai dari yang kecil sampai pada “gempa bumi” yang melanda Lombok.
Sebagai orang yang beriman acap kali kita bertanya; Apakah hal ini merupakan azab Allah ataukah hanya sekadar ujian dan peringatan dini yang diberikannya kepada kita. Maka jawabannya tentu saja terpulang kepada Allah Ta’ala.
Sementara kita hanya bisa mengira-ngira sembari mengoreksi apa yang telah kita lakukan selama ini, sehingga Allah memberikan bencana dan musibah itu untuk kita.
“Musibah” adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang ber-akar dari kata “sawaba” yang bermakna
“bencana”. Sebagai kata yang sudah melembaga menjadi bahasa Indonesia, maka menurut Purwadarminta dalam kamus bahasa Indonesianya, arti musibah itu adalah; bencana; malapetaka dan celaka. Sementara di dalam Al-Quran ada kurang lebih 83 kali Allah menjelaskan masalah musibah dengan berbagai peristiwa dan kondisinya.
Dan salah satu di antaranya Allah tegaskan dalam ayat 155-156 surah Al-Baqarah yang memberikan pengajaran awal kepada kita tentang bagaimana kita harus bersikap tatkala musibah datang. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. // (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali).” (Q.S.Al-Baqarah: 155-156)
Secara umum musibah itu digolongkan kepada dua bentuk, yakni musibah yang berlaku secara umum dan musibah yang bersifat pribadi atau perorangan.
Musibah yang bersifat umum misalnya adalah bencana alam seperti musim kemarau berkepanjangan; gempa bumi; banjir; gunung meletus dan lain-lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat pribadi misalnya adalah kematian; kemiskinan; kehilangan harta benda dan lain-lain sebagainya.
Pada hakikatnya sebagaimana yang tersirat dalam ayat 155-156 surah Al-Baqarah di atas, maka musibah sesungguhnya adalah salah satu dari ujian keimanan yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Dan keadaan ini makin diperjelas oleh Allah dengan firman-Nya:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? // Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S.Al-Ankabuut: 2-3)
Namun demikian, walaupun musibah tersebut merupakan salah satu ujian keimanan yang ditakdirkan Allah Ta’ala untuk kita, akan tetapi kita tidak boleh menerimanya dengan pasrah begitu saja tanpa mengkaji sebab-musababnya lebih lanjut. Sebab boleh jadi datangnya musibah tersebut adalah lantaran kesalahan dan kelalaian kita sendiri, sebagaimana yang di-ingatkan Allah di dalam firman-Nya:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (Q.S.An-Nisaa’: 79)
Para ulama menyatakan bahwa, walaupun pada hakikatnya apa saja yang diterima manusia dalam kehidupannya adalah segala sesuatu yang telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuk dirinya, akan tetapi
“penyebabnya” boleh jadi lantaran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu dalam setiap musibah yang menimpa, hal pertama yang patut dilakukan oleh manusia adalah mengoreksi kembali apa yang telah diperbuatnya, sehingga ia mendapat musibah tersebut. Jika hal itu bersumber dari kelalaiannya, maka ia wajib merubah keadaan yang telah diperbuatnya. Sebab dengan sifat-Nya yang “Maha Pemurah” Allah akan berkenan memberikan apa saja yang diusahakan manusia sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S.Ar-Ra’d: 11)
Inilah salah satu sikap mental yang perlu kita miliki ketika musibah datang melanda dalam rangka mempertahankan dan memperteguh keimanan yang kita miliki. Jika hal ini bisa diupayakan, maka insya Allah sifat sabar yang diinginkan Allah dari orang-orang yang terkena musibah sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam ayat 155-156 surah Al-Baqarah di atas akan dapat diwujudkan. Serhingga pada akhirnya pada setiap musibah yang menimpa kita akan mampu melafazkan kalimat istirjaa:
“….Inna lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali). Wallahua’lam.
Jakarta, 19 Dzulhijjah 1439 H / 31 Agustus 2018.