oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Rokanhilir – “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat; Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thOghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. Al-Baqarah: 256 )
Secara harafiah tentunya kita bisa memaklumi makna ayat di atas bahwa: Untuk mencapai kemurnian beribadah kepada Allah SWT, maka tidak ada jalan lain kecuali mengingkari segala sesuatu (perintah atau kehendak) selain Allah, yang dalam ayat 256 surah Al-Baqarah di atas disebut dengan nama “thoghut”. Lalu apa maknat hoghut yang sebenarnya ?.
Menurut As-Syaikh Dr. Yusuf al Qardhawi kata thoghut berasal dari akar kata thugyan yang berarti melampaui batas. Sedangkan para sahabat dan beberapa ulama salaf memberikan makna yang berbeda-beda untuk kata tersebut.
Khalifah Umar bin Khattab r.a mengartikan thoghut dengan syaitan; Jabir r.a mengartikannya sebagai peramal yang kemasukan setan; Dan Imam Malik r.a mengartikannya dengan makna: sesuatu yang disembah selain Allah. Sedangkan Imam Ibnul Qayyim al Jauiziah r.a mendefinisikannya dengan makna; sikap yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam penghambaan terhadap sesuatu selain Allah. Dengan kata lain; mengikuti atau mentaati segala sesuatu selain Allah dengan mengabaikan hak-hak Allah.
Untuk situasi dan kondisi umat (Islam) saat ini dan merujuk pada makna dan definisi thoghut yang telah disampaikan, maka rasanya kita lebih cenderung pada pendapat Imam Ibnul Qayyim al Jauziah di atas.
Sebab pada masa ini bisa kita saksikan dengan nyata (bahkan mungkin kita termasuk salah satu pelakunya); Bahwa oleh dalam beberapa kondisi banyak orang yang lebih cenderung pada kepentingan yang bersifat duniawi ketimbang kepentingan ukhrawinya. Entah itu disengaja ataupun tidak, hanya masing-masing dirilah yang bisa menjawabnya.
Contoh kecil dan sederhana dapat kita lihat pada kecenderungan seseorang pada tugas-tugas yang dikerjakannya; kegemaran pada olahraga dan hiburan; kesibukan berbisnis dan berorganisasi acapkali mengabaikan mereka pada perintah Allah SWT. Tidak sedikit yang menomor duakan perintah Allah dan mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi mereka.
Bahkan (misalnya saja) ada yang sanggup menelantarkan sholat atau kewajiban agamanya yang lain lantaran sikap mereka yang berlebih-lebihan pada tugas atau pekerjaan yang bersifat pribadi.
Pada kurun waktu sekarang ini, orang lebih cenderung mengingkari perintah Allah daripada perintah atasan; kawan bisnis ataupun kawan se-organisasi.
Padahal menurut Syaikh Abdullah al-Ghazali); Bahwa pada dasarnya Allah SWT memang tidak memaksakan kehendak-Nya agar orang memilih Islam sebagai jalan hidup mereka. Akan tetapi dengan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya Allah berkehendak, agar manusia memilih jalan yang benar yang ditetapkan-Nya, untuk keselamatan manusia itu sendiri.
Oleh sebab itulah Allah menegaskan pengingkaran kepada thoghut lebih awal, dan memerintahkan keta’atan kepada-Nya pada kalimat berikut-Nya dengan memberikan penekanan; Bahwa ketaatan kepada thoghut adalah sesuatu yang lemah, yang tidak akan mampu menolong mereka pada kesulitan dan kesukaran hidup. Baik dunia maupun akhirat.”
Oleh hal-hal yang demikian inilah seharusnya kita lebih jeli dan waspada pada daya tarik syaitan atau thagut melalui kesibukan dunia yang kita hadapi, agar kita tidak menjadi orang-orang yang melampaui batas terhadap Allah. Kita memang tidak bermaksud untuk “menyepelekan” Allah, akan tetapi bagaimanapun juga Iblis laknatullah akan selalu berusaha memanfaatkan kelalaian kita untuk meninggalkan sebahagian atau mungkin seluruh kewajiban kita kepada Allah SWT.
Sebab memang sudah demikianlah janji Iblis ketika dilaknat Allah, bahwa dirinya akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjerumuskan anak cucu Adam a.s sebagaimana yang Allah jelaskan dengan Firman-Nya:
“Iblis menjawab: ”Demi kekuasaan Engkau ya Allah,aku akan menyesatkanmereka semuanya; kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (yang ikhlas) di antara mereka.” ( Q.S. Shaad: 62-63)
Semoga kita tidak menjadi “hamba thoghut” karena kepentingan duniawi yang kita butuhkan. Wallahua’lam.
Jakarta, 27 Dzulhijjah 1439 H / 7 September 2018