Oleh : Dede Farhan Aulawi
Jakarta – Tidak ada organisasi apapun yang mampu menggerakan roda organisasinya tanpa dana. Setiap organisasi pasti punya tujuan yang dijabarkan dalam program kerja, lalu untuk melaksanakan program – program kerja tersebut pasti membutuhkan dukungan pendanaan.
Inilah tantangan utama sebuah organisasi dimanapun dan bergerak di bidang apapun selalu membutuhkan dana. Cash out-nya pasti, tapi cash in nya sangat tidak jelas, merupakan tantangan semua organisasi dan tak kecuali berbagai organisasi teroris pun demikian.
Oleh karena itu, salah satu langkah pencegahan terorisme yang terpenting adalah memutus mata rantai pendanaan (financing cut off). Coba kita lihat bahwa Teroris pasti membutuhkan dana untuk merekrut dan mendukung anggota, membuat dan melaksanakan program kerja, biaya pelatihan – pelatihan, dukungan administrasi dan komunikasi, pemenuhan sarpras, pemeliharaan hub logistik, dan melakukan operasi – operasi serta pengembangan organisasi pasti juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Jadi sangat dibutuhkan kepiawaian dalam mendeteksi sumber dana, proses transfer dana, tujuan dana, dan pemecahan sandi – sandi pendanaan. Tanpa dukungan SDM yang kapabel tentunya akan mengalami kesulitan dalam bidang pencegahan pendanaan teroris ini.
Dengan demikian, kemampuan untuk dapat mencegah teroris bisa mengakses sumber daya keuangan sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan dalam melawan ancaman terorisme. Juga di sisi lain, masih banyak negara yang belum memiliki kerangka hukum dan operasional serta keahlian teknis yang diperlukan untuk mendeteksi, menyelidiki dan menuntut kasus – kasus pendanaan teroris ini.
PBB sendiri sebenarnya sudah punya yang namanya The Terrorism Prevention Branch (TPB), sebagai bagian dari The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang beroperasi dengan penekanan pada aspek – aspek hukum melawan pendanaan terorisme, termasuk mempromosikan ratifikasi instrumen hukum universal yang relevan, khususnya Konvensi Internasional tentang “ The Suppression of the Financing of Terrorism (1999), dan penerapan standar internasionalnya. Hal ini sudah barang tentu memerlukan tinjauan legislasi masing – masing negara (nasional) untuk memastikan jenis pelanggaran yang tepat terkait dengan pendanaan terorisme, mengembangkan kapasitas peradilan pidana dan kapasitas pejabat penegak hukum untuk menyelidiki, menuntut dan mengadili pendanaan teroris melalui penyediaan pelatihan khusus tentang masalah-masalah yang terkait dengan teknik investigasi khusus, membekukan, menyita dan menyita aset teroris, dan memperkuat kerja sama regional dan internasional terhadap pendanaan terorisme ini.
Pada tahun 2012 The Terrorism Prevention Branch (TPB) telah memelopori pengembangan dua alat pelatihan inovatif, yaitu “ Investigasi Kriminal Mock ” dan ” Mock Trial ” tentang terorisme, pendanaan teroris dan keterkaitan dengan kejahatan serius.
Dalam pelatihan ini dilengkapi dengan simulasi persidangan dan investigasi kriminal berdasarkan skenario kehidupan nyata. Selanjutnya pada tahun 2014 TPB juga mengenalkan “Alat Manajemen Kasus”, untuk investigasi kriminal dalam konteks pembiayaan terorisme, sebagai alat praktis untuk jaksa dan tim penyelidik pidana, sesuai dengan kerangka kerja global dan nasional untuk setiap negara.
Perhatian khusus juga dicurahkan untuk penyalahgunaan teknologi IT untuk pendanaan terorisme, termasuk instrumen mata uang digital (cryptocurrency) dan berbagai turunannya dalam menyamarkan arus dana sehingga sulit untuk dilacak.
Bahkan beberapa intraweb yang sulit di search dengan model pencarian biasa justru menyajikan banyak lagi informasi penting terkait operasi – operasi mereka. Inilah aspek penting yang menjadi tantangan – tantangan penegakan hukum di bidang terorisme di masa depan.***