Oleh : Dede Farhan Aulawi
Jakarta – Persaingan AS, Rusia dan Cina dalam pengembangan teknologi selalu menjadi totlok ukur dunia, termasuk pengembangan sistem persenjataannya.
Namun produk – produk Rusia dan China dianggap lebih efisien baik dari sisi biaya maupun rantai pasokan, sehingga memiliki keunggulan kompetitif di pasar senjata internasional, menciptakan potensi untuk mengimbangi keunggulan teknologi militer AS melalui efisiensi dan risiko yang terukur. Akhirnya lahirlah generasi baru yang banyak memanfaatkan teknologi revolusi industri keempat.
Revolusi industri keempat didefinisikan sebagai rangkaian teknologi baru yang menyatukan dunia fisik, digital, dan biologis, dan berdampak pada semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri.
Saat AS beralih dari berbagai revolusi industri, akuisisi senjata masa depan, aset intelijen, teknologi canggih, dan penggunaan perang informasi berfungsi sebagai sistem pelengkap yang mendukung desain perang di masa depan.
Seperti yang dipelajari Jerman dalam Perang Dunia I, menembus pertahanan tidak mungkin dilakukan tanpa menggabungkan kemajuan teknologi untuk memajukan taktik militer. Saat ini, kemampuan anti-akses dan penolakan wilayah berfungsi sebagai sistem pertahanan berlapis.
Di Asia-Pasifik saat ini ada sekitar 154.000 personel militer AS yang bertugas aktif dan 176.000 warga sipil lainnya ditempatkan di 49 pangkalan utama yang berlokasi di Jepang, Korea Selatan, Australia, Singapura, Guam, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Mariana Utara.
Selain itu ada pengerahan ke Asia-Pasifik dengan kekuatan lima kelompok yaitu serangan kapal induk, termasuk sebanyak 180 kapal dan 1.500 pesawat, dua pertiga dari kekuatan tempur Korps Marinir, lima brigade Angkatan Darat Stryker, dan lebih dari setengah kekuatan angkatan laut AS secara keseluruhan.
Inovasi militer AS dapat berkembang dalam lima bidang utama yang ditemukan dalam revolusi industri keempat, yaitu (1) sistem pembelajaran otonom, (2) pengambilan keputusan kolaboratif mesin-manusia, operasi sistem tak berawak, dan senjata otonom yang memungkinkan jaringan dan kecepatan tinggi proyektil.
Untuk membantu memerangi sistem musuh dan mengurangi beban kerja kognitif, pengambilan keputusan kolaboratif manusia-mesin melengkapi kekuatan manusia dan komputer untuk menciptakan solusi yang lebih baik untuk masalah berskala besar dan kompleks.
Laboratorium The Air Force Research saat ini sedang merancang biosensor kulit yang terlihat dan terasa seperti Bandaid, kecuali biosensor dilengkapi untuk membaca data seperti detak jantung, hidrasi, dan tanda-tanda vital lainnya.
Kemajuan dalam bidang-bidang ini meningkatkan kemampuan militer melewati pesaing terdekat dan memungkinkan pengembangan kemampuan baru di luar kemampuan musuh. Dengan mengakui lima bidang inovatif, Departemen Pertahanan harus mengidentifikasi cara mengintegrasikan kemampuan baru di bawah Departemen Pertahanan.
Untuk saat ini posisi militer AS dinilai masih tetap unggul dari para pesaingnya, karena ukuran, keterlibatan global, dan kemampuan teknologi yang memang dinilai sudah sangat canggih. Untuk lebih memahami kemajuan teknologi perang AS dapat dipelajari dari tulisan Harris, H.B., Brown, R. B., Swift, S. H., & Berry,R.D. (02 March 2018). “The Integrated Joint Force: A Lethal Solution for Ensuring Military Preeminence.” RealClear Defense.
Bisa juga dipelajari dari Lostumbo, M. J., et al. (2013). Overseas Basing of U.S. Military Forces: An Assessment of Relative Costs and Strategic Benefits. Santa Monica, CA. Bisa juga ditemukan dalam buku karya Erickson, A. S. and Mikolay, J. D. (2015). “Guam and American Security in the Pacific,” in Rebalancing U.S. Forces: Basing and Forward Presence in the Asia-Pacific, ed. Carnes Lord and Andrew S. Erickson. Annapolis, MD. Atau karya dari Heritage Foundation (2017), tentang 2017 Index of U.S. Military Strength. Bisa juga dari karya Malasky, J. S. (23 June 2005). “Human Machine Collaborative Decision Making in a Complex Optimization System.” MIT. Dan beberapa buku atau jurnal yang terkait lainnya***