JAKARTA — Bank Indonesia (BI) melihat laju pertumbuhan kredit di Indonesia belum maksimal. Tidak heran kontribusinya terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) masih tertinggal jauh dari negara lain.
Sebagai mana diberitakan CNN Indonesia.com, menurut Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung, sebetulnya potensi pertumbuhan kredit bank umum mencapai 15 persen pada 2022, dan meningkat menjadi 16 persen pada 2023, serta 17 persen pada 2024 mendatang.
Dengan catatan, pertumbuhan ekonomi RI bisa mencapai kisaran 6 persen. Jika laju pertumbuhan itu terkejar, kontribusi pertumbuhan kredit bank terhadap ekonomi nasional bisa mencapai 40 – 45 persen terhadap PDB 2022-2024.
Namun, dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen seperti saat ini, rata-rata pertumbuhan kredit bank umum cuma 11 persen – 12 persen. Dari sisi kontribusi, pertumbuhan kredit bank tersebut cuma menyumbang 35 persen terhadap PDB.
“Meski negara lain akan mendekati 100 persen (terhadap PDB), tetapi setidaknya kita masih dalam tren terus tumbuh. Bergantung seberapa cepat pertumbuhan kreditnya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (26/6).
Ia menilai perlu berbagai kebijakan yang mendukung peningkatan kredit. Salah satu solusi yang diusulkan, yaitu kebijakan makroprudensial. Saat ini, BI sendiri tengah menyiapkan sejumlah kebijakan terkait untuk jangka waktu 3-4 tahun, yang meliputi pengawasan dan antisipasi ketahanan modal lembaga-lembaga keuangan.
Caranya, dengan meningkatkan persiapan cadangan modal lembaga keuangan. Lalu, kebijakan rasio kredit Loan to Value (LTV) melalui pengelolaan fungsi intermediasi dan pengendalian risiko kredit secara berkala dan terstruktur.
“Sekarang ini sebenarnya sudah longgar, jadi masih cukup, tapi kami akan evaluasi,” imbuh Juda.
Lalu, melalui kebijakan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Misalnya, dengan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan.
Selanjutnya, dengan pengelolaan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong intermediasi bank yang seimbang dan berkualitas serta melakukan pendalaman pasar keuangan.
Tak ketinggalan melalui pengukuran rasio kredit bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP). Caranya, dengan meningkatkan akses kredit dan perubahan ketentuan batas Giro Wajib Minimum (GWM).
“Termasuk dengan mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif, seperti berorientasi ekspor dan mungkin pariwisata,” terang Juda.
Ia menyampaikan bank sentral nasional juga terus melakukan sosialisasi kepada seluruh pihak agar mengerti dan bisa memanfaatkan berbagai kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh BI. Begitu pula dengan kebijakan makroprudensial.
“Mudah-mudahan ini membuat awareness (kesadaran) masyarakat semakin meningkat, sehingga bisa menjaga stabilitas keuangan ke depan,” katanya.
Ia bilang sosialisasi ini penting agar masyarakat kian ‘melek’ dengan sektor keuangan. Mulai dari instrumen yang ada sampai antisipasi risiko yang mungkin muncul, khususnya bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan instrumen investasi di sektor keuangan.
Selain itu, lanjutnya, BI juga akan terus melakukan sosialisasi terkait kebijakan moneter. “Meski kalau moneter mungkin sudah paham, mungkin karena dulu sudah pernah krisis moneter jadi paling tidak lebih paham,” tandasnya.
Editor: ST2