JAKARTA — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sekitar 20.269 hektare sawah terancam mengalami puso atau gagal panen akibat kekeringan karena kemarau tahun ini.
“Menurut catatan yang sampai saat ini masuk ke BNPB, kita lihat ada 20.269 hektare yang potensi puso,” kata Plh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo, Jakarta, Senin (22/7) seperti dilansir CNN Indonesia.com.
Agus mengatakan data tersebut diperoleh dari Kementerian Pertanian dan menunjukkan luas lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan dari 2009-2019.
Berdasarkan data yang diperlihatkan, ada 33.188 hektare lahan pertanian yang mengalami gagal panen pada 2009. Angka tersebut mengalami fluktuasi hingga tercatat mengalami penurunan drastis menjadi 4.442 hektare pada 2013.
Namun, pada 2015, jumlah lahan pertanian yang mengalami puso meroket hingga 244.861 hektare akibat fenomena el nino yang menyebabkan kebakaran hutan dan kekeringan di banyak tempat.
Selain itu, BNPB mencatat musim kemarau yang terjadi tahun ini telah menyebabkan bencana kekeringan di tujuh provinsi, yakni Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bali.
Dari tujuh provinsi tersebut, ada 75 kabupaten/kota, 490 kecamatan, dan 1.676 desa yang telah terkena dampak kekeringan.
Di antara 75 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan, ada 55 kabupaten diantaranya yang sudah melaporkan status siaga darurat kekeringan.
Beberapa di antaranya lima desa di NTT yang sudah melaporkan masuk kategori darurat kekeringan. Lima kabupaten/kota itu adalah Kota Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Manggarai, Rote Ndao, dan Flores Timur.
“Berdasarkan monitoring hari tanpa hujan berturut-turut (HTH) dasarian I Juli 2019 Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada sembilan kabupaten/kota yang mengalami kekeringan ekstrem. Dari sembilan kabupaten ini, lima kabupaten yang sudah menetapkan siaga darurat kekeringan,” kata Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kupang, Apolinaris Geru, di Kupang.
Mengenai curah hujan, dia mengatakan, dari hasil analisa curah hujan dasarian II Juli 2019, wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), hampir seluruhnya mengalami kategori rendah (0-50 mm).
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan melakukan strategi modifikasi cuaca membuat hujan buatan untuk menanggulangi bencanan kekeringan.
Ini merujuk pada perintah yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas pada 25 Juli lalu. Dalam operasi penanggulangan tersebut, BNPB bersama BMKG dan BPPT akan mendirikan dua pos operasi yang akan ditempatkan di Halim Perdanakusuma (Jakarta) dan Kupang.
Mekanisme operasi penanggulangannya, kata Agus, BMKG akan bertugas menganalisis cuaca untuk melihat kemungkinan adanya potensi awan yang siap disemai di satu daerah. “Misalnya di Jawa Barat ada potensi awan, kita terbang ke sana dengan pesawat yang dioperasikan oleh BPPT dan disediakan oleh TNI,” kata Agus.
Upaya penanggulangan tersebut menargetkan daerah-daerah pertanian untuk mencegah kemungkinan terjadinya puso atau gagal panen. Jika tidak ditanggulangi, Agus mengkhawatirkan ada kerugian sekitar Rp3 triliun akibat gagal panen.
“Kalau sampai puso, kita tidak panen padi, palawija, kita akan perlu impor lagi,” katanya.
Editor : Amran