DENPASAR – Panitia Khusus (Pansus) DPRD Bali tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat masih melakukan proses pembahasan Raperda, bersama Tim Perumus dari pihak eksekutif, Pemprov Bali.
Dikutip dari Tribunbali.com, dalam rapat yang dilaksanakan Sabtu (9/3/2019), di Ruang Baleg, Kantor DPRD Bali, terungkap bahwa dalam salah satu poin Raperda mengatur tentang tata cara pemilihan Bendesa (Ketua Adat Desa) di suatu desa adat, yaitu wajib dipilih dengan cara musyawarah mufakat.
Ketua Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta menjelaskan beberapa alasan mengapa pengaturan pemilihan bendesa adat dilakukan dengan mekanisme musyawarah mufakat.
Pertama, kata dia, setelah mencermati bahwa desa adat itu prinsipnya adalah seguluk segilik, semangatnya adalah selunglung sebayantaka, dan sumber pengambilan keputusannya adalah awig-awig dan pararem.
Maka bendesa adat seharusnya tidak dilakukan pemilihan dengan sistem demokrasi barat, yaitu dengan melakukan voting, baik berdasarkan kepala keluarga (KK) maupun berdasarkan warga yang sudah mempunyai hak pilih, misalnya berusia di atas 17 tahun.
Kedua, pemilihan bendesa melalui mekanisme voting berpotensi menimbulkan konflik di suatu desa adat.
“Kami menerima 6 pengaduan di Dewan yang isinya adalah persoalan-persoalan konflik pemilihan bendesa,” aku Parta, usai memimpin rapat.
Menurut Parta, konflik terjadi disebabkan oleh aturan mengenai tata cara pemilihan yang belum jelas.
Lanjutnya, jika pemilihan kepala desa selama ini ada aturan yang tegas mengaturnya, berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan Mendagri, dan peraturan daerah, sedangkan mengenai tata cara pemilihan bendesa adat tidak jelas peraturannya.
“Makanya ketika terjadi konflik tidak menemukan siapa yang harus menyelesaikannya. Itu 6 kasus yang datang ke sini tidak bisa kita selesaikan karena aturan mainnya tidak ada,” imbuhnya.
Ketiga, agar krama di desa adat menjadi rukun dan tidak ada konflik.
“Karena itu kami ingin menawarkan dalam Raperda agar bendesa adat dipilih dengan cara musyawarah mufakat, dan tidak ada voting di desa adat,” ucap politisi asal Desa Guwang, Gianyar ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry menyatakan hal senada bahwa sejatinya hal yang melekat pada desa adat adalah kesepakatan ketokohan.
“Sekarang ada pemilihan bendesa adat dengan memasang baliho, bendera untuk kampanye. Kami melihat memang agak keluar dari nilai dan esensinya,” kata Sugawa Korry.
Editor : Amran