Sumatratimes.com – Nikel yang dulu dianggap komoditas sampingan, kini memicu drama ekonomi trans nasional.
Logam ferromagnetis itu selama ini lebih sering digunakan sebagai bahan campuran untuk baja nirkarat, atau besi stainless steel.
Namun sejak beberapa tahun terakhir muncul pasar baru yang lebih menggiurkan untuk Nikel, dan tumbuh pesat bak jamur di musim hujan: baterai Lithium-ion.
Baterai yang memiliki kandungan nikel berjumlah tinggi lebih disukai lantaran terbukti lebih stabil, kuat dan tahan lama.
Tesla misalnya berhasil mengembangkan baterai dengan kepadatan energi tertinggi di dunia dengan menambah kandungan nikel dan mengurangi kobalt, begitu menurut laporan Wall Street Journal.
Pemerintah sekarang punya ambisi menggeser minyak sawit sebagai primadona ekspor dan menggantikannya dengan baterai kendaraan listrik dalam 15-20 tahun mendatang.
Sebab itu Agustus silam Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Mobil Listrik yang antara lain menitikberatkan produksi nikel nasional untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Harapannya, dengan harga bahan baku yang lebih murah, baterai buatan Indonesia kelak akan memiliki daya saing yang lebih besar.
Konsolidasi Ekonomi di Era Perang Dagang
Keputusan tersebut buntutnya memicu gejolak di pasar global, lantaran diberlakukan lebih dini ketimbang yang diduga pelaku pasar, lapor Bloomberg.
Awalnya pemerintah di jakarta berniat memberlakukan larangan mulai 1 Januari 2020, namun tenggat tersebut dimajukan.
Saat itu pun keputusan Indonesia memicu antisipasi belanja besar-besaran oleh pelaku pasar Cina.
Bulan Agustus silam Cina membeli 5,72 juta ton bijih nikel, meningkat tajam dari bulan atau tahun sebelumnya.
“Semua orang berusaha membeli nikel Indonesia sebanyak mungkin” sebelum dilarang, kata Linda Zhang, Analis Pasar di lembaga konsultan di Wood McKenzie kepada Reuters.
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM) bersama kementerian terkait dan para pengusaha nikel dalam negeri menggelar pertemuan secara tertutup di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (28/10/2019).
Pertemuan tersebut membahas terkait industri smelter di Indonesia. Karena itu, dalam pertemuan tersebut diambil kesepakatan secara bersama pelarangan ekspor ore atau bijih nikel sejak Senin (28/10/2019).
“Atas kesadaran bersama dan diskusi panjang, maka hari ini secara formal kesepakatan bahwa yang seharuanya ekspor ore sselesai 1 Januari 2020 mulai hari ini kita sepakati tidak lagi ekspor ore,” kata Bahlil.
Bahlil mengungkapkan, langkah yang dipilih ini bukan atas dasar atau perintah negara maupun kementerian terkait, namun murni kesepakatan secara bersama.
“Kesepakatan Ini dilakukan tidak atas dasar surat dari negara atau kementerian teknis tapi atas dasar kesepakatan bersama,” tuturnya.
“Ini dilakukan asosiasi nikel dan perusahaan nikel dan pemerintah. Ini lahir atas kajian mendalam, di mana kita semua cinta negara dan sayang negara dan kita ingin negara berdaulat kelola hasil bumi berikan nilai tambah,” lanjut dia.
Padahal sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai melarang ekspor bijih nikel efektif per 1 Januari 2020 mendatang. Pelarangan tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Langkah pemerintah melarang ekspor nikel itu justru disambut positif di dalam negeri.
Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, mengatakan keputusan tersebut membuka peluang bagi “konsolidasi ekonomi dan sumber daya”, yang harus dibarengi dengan penambahan kapasitas di sektor lain.
“Selama ini kan kita seperti tidak pernah punya gigi, karena selalu takut bahwa nanti neraca ekspornya babak belur,” kata Enny saat dihubungi DW.
“Kalau kita bersikukuh (soal larangan ekspor),” imbuhnya, “kita berkesempatan menjaring lonjakan investasi untuk sektor-sektor hilir.”
Paket stimulus genjot investasi
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada pameran Indonesia Electric Motor Show September silam, mengklaim pemerintah telah menyiapkan paket stimulus bagi pelaku industri untuk berinvestasi, antara lain keringanan pajak, demikian lapor Reuters.
Menurut Luhut saat ini dana investasi senilai USD 30 milyar akan dikucurkan ke kawasan industri Morowali hingga 2024. Termasuk di antaranya pembangunan pabrik baterai senilai USD 4 milyar berupa patungan beberapa perusahaan, antara lain produsen Cina Contemporary Amperex Technology Co. LTD yang memasok baterai untuk Volkswagen, Mercedes atau Tesla.
Pemerintah berharap, dengan mengalirkan sumber daya alam untuk kebutuhan lokal, industri logam bisa menjadi motor pertumbuhan perekonomian pada 10 atau 15 tahun ke depan.
Balai Besar Bahan dan Barang Tehnik (B4T) meyakini Indonesia sudah akan mampu memproduksi baterai Lithium-ion dengan bahan baku lokal mulai 2024.
Demam nikel di Indonesia juga menghinggapi Perusahaan Tambang Minyak Negara (Pertamina) yang berniat membangun pabrik baterai di Jawa Barat pada 2021 untuk menyuplai kebutuhan industri.
Adapun Toyota telah mengumumkan akan membangun fasilitas produksi senilai USD 2 milyar.
Indonesia sebagai produsen baterai juga dibidik oleh produsen otomotif lain seperti Hyundai dan Mitsubishi.
Cadangan Nikel Terbatas
Sebab itu lembaga konsultan AlixPartners memprediksi, industri otomotif akan membanjiri pasar dunia dengan 200 jenis mobil elektrik baru hingga 2023.
Nantinya kendaraan listrik diharapkan tidak lagi berharga mahal, melainkan juga sudah bisa ditawarkan untuk konsumen berkocek tipis.
Namun lonjakan kebutuhan logam nikel membuat pelaku pasar khawatir akan mengalami gelembung serupa tahun 2007, ketika industrialisasi di Cina melambungkan harga nikel dari USD 10.000 per ton menjadi USD 50.000/ton hanya dalam waktu beberapa tahun.
Saat ini harga nikel di pasar global meningkat ringan dan bertengger di kisaran USD 18.000/ton sejak Indonesia mengumumkan larangan ekspor.
Padahal antara 2016 dan 2017 Indonesia masih menyumbang masing-masing 39% dan 63% dari total perdagangan nikel dunia.
Meski demikian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memerkirakan cadangan nikel Indonesia bisa habis pada tahun 2029.
Adapun eksploitasi sisa cadangan nikel sebesar 3,5 miliar ton yang belum ditambang terbentur masalah lingkungan.
Keterbatasan cadangan nikel dan larangan ekspor dari Indonesia ini lah yang memaksa pengimpor asing memutar akal.
China misalnya melirik Filipina yang tercatat memiliki cadangan nikel terbesar kedua di dunia.
Sementara perusahaan-perusahaan Inggris dan Australia dikabarkan sibuk mengamankan izin tambang nikel di berbagai negara.
Wall Street Journal melaporkan, saat ini sejumlah perusahaan sudah mulai bereksperimen dengan teknologi baru untuk memproduksi bahan baku pengganti seperti nikel sulfat dan komoditas lain, tanpa melalui metode ekstraktif.
Namun Lembaga Analisa Pasar Roskill menilai dibutuhkan harga nikel sebesar USD 20.000/ton untuk membuat investasi besar-besaran di sektor hulu menjadi menguntungkan. (sumber : TribunMedan.com)