SumatraTimes.co.id – Amerika Serikat (AS) kini berada di posisi pertama yang mencatat jumlah kematian tertinggi akibat Virus Corona (COVID-19). Totalnya ada 20.602 kasus kematian.
Dengan ini, AS mengalahkan China dan Italia yang sebelumnya memilik jumlah kematian tertinggi di dunia. Secara keseluruhan, ada 108 ribu kasus kematian akibat Virus Corona di dunia.
Meski demikian, secara persentase tingkat kematian AS masih rendah. Berdasarkan peta Gis And Data per Minggu pagi (12/4/2020), tingkat kematian Virus Corona di AS hanya 3,8 persen.
Angka 3,8 persen lebih rendah dari rata-rata persentase kematian dunia yang saat ini sebesar 6,1 persen. Sebagai catatan, tingkat persentase kematian di Indonesia adalah sebesar 8,5 persen sehingga lebih tinggi dari rata-rata dunia.
Kasus AS lebih tinggi karena negara itu melakukan tes besar-besaran sehingga banyak kasus terdeteksi. Presiden AS Donald Trump berkata jumlah pengujian di AS adalah terbanyak di dunia.
Selain itu, setiap kasus kematian Virus Corona di AS dibuat sangat detail. Semua pasien meninggal yang positif Virus Corona masuk ke data kematian, meski penyebab kematiannya mungkin penyakit lain.
Ini berbeda dari negara lain yang tidak menghitung kematian akibat Virus Corona apabila si pasien sudah punya penyakit lain.
“Bila virus itu itu membuat kamu masuk ICU dan kemudian kamu terkena masalah jantung atau ginjal, beberapa negara mencatatnya sebagai masalah jantung atau ginjal, dan bukan kematian COVID-19,” ujar Dr. Deborah Birx, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih.
“Tujuan saat ini adalah bahwa jika seseorang meninggal dengan COVID-19, kita menghitungnya sebagai kematian COVID-19,” lanjut Dr. Birx.
Pakar Epidemiologi: Udara Panas Tak Hambat Penyebaran Corona
Pakar dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Siwi Wijayanti mengatakan, virus corona (Covid-19) akan mati bila terpapar udara panas kala keluar dari inangnya melalui droplet. Namun kematiannya tetap membutuhkan waktu.
“Virus kan memang hanya bisa hidup di host atau inang misalnya saja ketika virus itu menginfeksi manusia, karena itu dia bisa hidup dan bereplikasi atau memperbanyak diri. Tanpa itu dia akan mati, misalnya ketika orang batuk atau bersin, kemudian mengeluarkan droplet atau tetesan, dalam beberapa saat ketika dia di luar inang, dia akan mati atau terdegradasi,” papar Siwi kepada Liputan6.com, Minggu (12/4/2020).
Siwi tidak menampik bahwa virus mudah mati dalam temperatur yang tinggi, namun faktor itu tidak menjadi penangkal laju penyebaran Covid-19 ke manusia, utamanya di Indonesia.
“Dia masih bisa bertahan beberapa lama ketika di dalam droplet. Itu yang berbahaya dalam proses penularan penyakit. Intinya ketika virus di luar tubuh inang atau hostnya ya akan mati, dan memang akan lebih cepat mati ketika temperaturnya tinggi,” jelasnya.
Siwi mengatakan, kalau virus sudah masuk ke tubuh manusia atau inangnya, maka selama dia bisa hidup di sel tubuh, maka tidak bakal mati walaupun cuaca di luar panas seperti di Indonesia.
“Karena dia tetap bisa hidup di dalam tubuh. Kecuali sistem imun tubuh berhasil melawan infeksi virus (Covid-19), maka perkembangbiakkan virus dapat terhambat,” paparnya. ***
Sumber: liputan6.com
Editor: Amran