SumatraTimes.co.id – Aliansi Nelayan Natuna Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menolak kehadiran kapal-kapal penangkap ikan dari pantai utara jawa (Pantura) yang datang ke Laut Natuna mengunakan alat tangkap cantrang, atau biasa dikenal pukat harimau.
Kapal-kapal penangkap ikan yang berasal dari pantura ini melakukan penangkapan ikan menggunakan cantrang, dengan areal tangkapan di bawah 12 mil laut. Mereka enggan menjaring di atas 12 mil laut disebabkan takut berhadapan dengan kapal nelayan china.
Aliansi Nelayan Natuna mengadukan keberadaan puluhan kapal cantrang di perairan Pulau Subi tersebut kepada mantan Mentri KKP RI Susi Pudjiastuti.
Pesan singkat yang dikirim para nelayan kepada Susi menyebar di aplikasi pesan WhatsApp. Kepada Susi, para nelayan mengadukan nasib mereka yang terdampak kapal-kapal cantrang. Mereka juga menyampaikan kekhawatiran kerusakan terumbu karang yang selama ini dijaga nelayan tempatan.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Kepri Herman membenarkan isi pesan dalam WhatsApp tersebut. Herman mengaku hal ini dilakukan karena pihaknya menolak kehadiran kapal-kapal cantrang kini marak di perairan Naruna.
“Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan hal ini, karena jika hal ini terus dilakukan, akan banyak terumbu karang yang rusak dan terancam punah,” kata Herman, melalui telepon, Selasa (14/7/2020).
Herman mengatakan, para nelayan sebenarnya sudah mengadukan hal ini kepada pemerintah. Namun pada kenyataannya kapal cantrang ini tetap juga beroperasi di Laut Natuna, serta mengancam ekonomi masyarakat nelayan pesisir pengguna kapal tangkap kecil.
“Kami juga menginformasikan ke Bu Susi melalui pesan WhatsApp, namun belum direspons. Mungkin karena Bu Susi sedang sibuk,” kata Herman.
Herman mengatakan, pada dasarnya para nelayan tidak mempermasalahkan apabila kapal cantrang ini beroperasi di atas 50 mil laut. Sebab, terang Herman, nelayan pesisir Natuna rata-rata mencari ikan menggunakan kapal kecil atau kapal 5 gross tons (GT).
Menurut Herman, nelayan Natuna merupakan nelayan sepenuhnya tanpa pekerjaan sampingan. Berbeda dengan nelayan yang ada di kapal cantrang, yang memiliki cukong atau pemilik kapal.
“Kenapa kami menolak, karena nelayan Pantura tidak seperti kami nelayan Natuna yang merupakan nelayan mandiri,” kata Herman.
Herman mengatakan, sebagian nelayan Natuna tidak saja sebagai pemilik kapal dan pemilik alat tangkap sendiri, untuk proses menjual hasil laut juga dilakukan sendiri. Hal itu yang menyebabkan harga jualnya cukup tinggi, karena ikan yang dijual murni ikan langsung dari tangkapan saat itu juga.
Berbeda dengan ikan yang disimpan selama beberapa hari di lokasi penyimpanan atau gudang ikan yang berada di darat. Herman memastikan bahwa para nelayan Natuna selalu menjaga kearifan lokal, sehingga hasil laut Natuna selalu bisa dirasakan dan dipergunakan sebaik-baiknya oleh anak dan cucu dari generasi ke generasi.
“Namun untuk saat ini kami jamin akan tidak ada lagi, karena kapal cantrang akan menyapu bersih semua terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang ada di Natuna. Karena kapal cantrang tersebut melakukan tangkap di bawah 12 mil, lebih tepatnya di sekitaran Pulau Subi,” kata Herman.
Saat ini para nelayan Natuna hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah. “Berharap dapat perlindungan. Tapi yang ada, nelayan natuna malah terus terjepit,” kata Herman.***
Sumber: kompas.com
Editor : amran