SumatraTimes.co.id – Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan Jepang telah menyepakati penyelesaian transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal.
Artinya, setiap transaksi perdagangan dan investasi yang dilakukan keduanya menggunakan mata uang lokal masing-masing yakni rupiah dan yen.
Kerangka kerja ini disusun berdasarkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang pada 5 Desember 2019.
“Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk mendorong penggunaan mata uang lokal secara lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi langsung di antara kedua negara,” tulis BI melalui keterangan resmi, Senin (31/8/2020).
Namun sebenarnya tidak hanya dengan Jepang, BI juga melakukan hal yang sama dengan 5 negara lainnya, yakni Korea Selatan, Australia, Singapura, China, dan Malaysia.
Pada bulan Maret lalu, BI dan bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) sepakat untuk memperpanjang perjanjian penyediaan likuiditas perdagangan dengan mata uang lokal atau Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA). Dengan begitu, ketergantungan terhadap dolar AS bisa dikurangi.
Pada Kamis (5/3/2020), BI dan BoK sepakat memperpanjang BCSA yang bernilai KRW 10,7 triliun atau setara dengan Rp 115 triliun. Kesepakatan ini diteken oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dan Gubernur BoK Juyeol Lee.
Perpanjangan tersebut berlaku efektif mulai 6 Maret 2020 hingga 5 Maret 2023, dan bisa diperpanjang kembali atas kesepakatan kedua negara.
Menurut Perry, kerja sama BCSA ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral. Sebagaimana perjanjian sebelumnya, tujuan kerja sama BCSA ini adalah untuk mendorong perdagangan bilateral dan memperkuat kerja sama keuangan yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi kedua negara.
Secara khusus, kerja sama ini juga akan menjamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal antara kedua negara sekalipun dalam kondisi krisis, guna mendukung stabilitas keuangan regional.
Kemudian dengan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kerjasama swap terbaru ditandatangani pada Agustus 2018 lalu, dan berlaku selama 3 tahun. Nilai kerja sama ini mencapai AU$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun.
Selama 3 bulan berselang BI juga memperpanjang kerja sama swap dengan bank sentral China (People’s Bank of China/PBC), bahkan nilainya dinaikkan.
Kesepakatan tersebut diteken Gubernur Perry dengan Gubernur PBC, Yi Gang, pada November 2018 nilainya mencapai CNY 200 miliar, atau setara US$ 30 miliar, naik dari sebelumnya CNY 100 miliar. BCSA tersebut juga berlaku selama 3 tahun.
“Kesepakatan tersebut mencerminkan penguatan kerjasama moneter dan keuangan antara BI dengan PBC, serta menunjukkan komitmen kedua bank sentral untuk menjaga stabilitas keuangan di tengah ketidakpastian pasar keuangan global,” tegas Gubernur Perry dalam rilis BI 19 November 2018 lalu.
Pada akhir tahun 2018 lalu, pasar keuangan global dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi tajam, pada 11 Oktober 2018 menyentuh Rp 15.265/US$, merosot lebih dari 12% secara year-to-date (YTD). Posisi rupiah kala itu berada di level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Setelahnya, posisi nilai tukar rupiah membaik, di akhir 2018 depresiasi rupiah tersisa 6%.
Ketidakpastian di pasar keuangan global akibat perang dagang AS-China masih berlanjut di 2019. Di tahun yang sama, BI melakukan kerja sama swap dengan negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Pada September 2019, dalam pertemuan bilateral yang diadakan di Kuala Lumpur, Gubernur Perry dengan Gubernur bank sentral Malaysia (Bank Negara Malaysia/BNM) Nor Shamsiah Yunus meneken local currency bilateral swap agreement (LCBSA), senilai RM 8 miliar atau Rp 28 triliun.
“LCBSA memungkinkan dilakukannya pertukaran mata uang lokal antara kedua bank sentral dengan nilai maksimum RM 8 miliar atau Rp 28 triliun, kurang lebih setara US$ 2 miliar,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko dalam keterangan resmi, Jumat (27/9/2019).
Kemudian pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sepakat untuk memperpanjang kerja sama keuangan bilateral antara Bank Indonesia (BI) dan Monetary Authority of Singapore (MAS).
Kerjasama berupa LCBSA dan kerja sama Bilateral Repo Line (BRL) antara BI dan MAS saat itu akan berakhir pada November 2019.
Menindaklanjuti kesepakatan Presiden Jokowi dan PM Lee, BI dan MAS pada 5 November mengumumkan perpanjangan LCBSA sElama satu tahun dengan nilai SG$ 9,5 miliar atau Rp 100 triliun atau setara US$ 7 miliar, dan BRL sebesar US$ 3 miliar.***
Sumber: CNBC Indonesia