SumatraTimes.co.id — Pelaku usaha mengharapkan pemerintah dapat memberi insentif guna menyiasati kenaikan biaya pengapalan yang timbul akibat kelangkaan kontainer. Langkah ini dipandang penting agar performa positif ekspor dapat terjaga.
“Kami harapkan ada subsidi pemerintah, bentuknya apa tentu tergantung pemerintah dan berapa anggarannya. Misalnya, dengan mendatangkan kontainer kosong [yang berbiaya tinggi karena ketidakseimbangan muatan], namun ongkosnya ditanggung pemerintah,” kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, Senin (15/12/2020).
Kelangkaan peti kemas terjadi akibat sejumlah faktor. Benny menjelaskan bahwa penyedia jasa angkutan cenderung mengurangi operasional kapal berukuran besar sebagai upaya efisiensi selama pandemi.
Akibatnya, penggunaan kapal berukuran lebih kecil lebih banyak digunakan. Namun, kondisi ini menimbulkan konsekuensi pada volume pengangkutan yang makin sedikit dan kenaikan biaya pengiriman kontainer kosong menjadi tak terhindari.
Data Freightos Baltix Index (FBX) memperlihatkan bahwa biaya pengangkutan kontainer ukuran 40 kaki atau forty-foot equivalent (FEU) per 13 Desember 2020 tercatat US$2.782. Nilai ini naik signifikan dibandingkan dengan pekan yang sama pada 2019 yang berada di angka US$1.389 per FEU atau naik 100,2 persen secara tahunan.
Sementara itu, menurut catatan Benny, biaya pengapalan dengan tujuan Amerika Serikat mengalami kenaikan sampai 2—3 kali lipat. Jika sebelumnya biaya pengiriman hanya US$4.000 per FEU, kini eksportir harus merogoh kocek sampai US$10.000 per FEU.
“Baru kali ini terjadi kelangkaan seperti ini. Tahun-tahun sebelumnya memang pengapalan ke Amerika Utara dan Eropa tinggi jelang Natal dan Tahun Baru, tetapi tidak sampai shortage,” kata Benny.
Dia mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan pelaku usaha selain mengkalkulasi ulang biaya logistik. Guna menjamin aktivitas pasokan bahan baku yang didatangkan dari luar negeri terjaga, dia mengatakan pelaku usaha memilih menggunakan jasa angkut udara.
“Jadinya lebih tinggi biayanya, tetapi untuk ekspor kami tetap pengapalan normal meski bisa delay,” kata Benny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa kelangkaan peti kemas juga terjadi akibat meningkatnya ekspor ke AS dari negara-negara Asia, tetapi tidak disertai dengan muatan balik dari negeri Paman Sam. Aktivitas di pelabuhan yang terbatas jelang akhir tahun pun turut memengaruhi ketidakseimbangan pasokan peti kemas.
Selain itu, masih terbatasnya impor yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan ekspor dipandang Tauhid makin memperumit defisit kontainer. Demi menjaga performa perdagangan yang mulai menunjukkan geliat, dia berpandangan pemerintah perlu memberi dukungan eskpor agar daya saing tetap terjaga.***
Sumber: Bisnis.com
Editor: Amran