Jakarta – Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kejaksaan sedang dalam fase yang baik, yang menandakan bahwa hal tersebut harus dipertahankan serta ditingkatkan.
Maka dari itu, baiknya tingkat kepercayaan dikarenakan masyarakat menganggap Kejaksaan mampu menampilkan wajah penegakan hukum yang mereka damba-dambakan, yaitu penegakan hukum yang humanis serta mampu memberikan keadilan dan kemanfaatan.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut di sampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Dr. Ketut Sumedana SH.MH melalui siaran pers Nomor: PR – 1170/175/K.3/Kph.3/07/2022 kepada awak media. Jumat ( 29/7/2022).
“Kejaksaan mampu menangkap kegelisahan masyarakat, atas praktek penegakan hukum yang sebelumnya bersifat retributive, yang hanya berorientasi pada penghukuman sehingga abai dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat, ke arah penegakan hukum yang bersifat restoratif atau memulihkan pada keadaan semula,” ujar Jaksa Agung.
Penuturan Jaksa Agung, pendekatan Restorative Justice (RJ) dalam penegakan hukum dan penyelesaian perkara oleh Kejaksaan telah merebut hati masyarakat, karena mampu memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Meski demikian, rentan terjadi pergeseran makna dalam pelaksanaannya, dimana seakan-akan penegak hukum berpihak kepada Tersangka dan melupakan esensi dari pemulihan keadilan korban yang sempat terenggut.
“Untuk itu, saya tekankan kepada seluruh jajaran bahwa fokus RJ adalah pemulihan keadilan korban sehingga pada saat publikasi hendaknya hal yang lebih ditonjolkan adalah telah pulihnya kerugian korban, dan adanya empati dan kebesaran hati dari korban yang dengan ikhlas bersedia memaafkan kesalahan pelaku. Intinya kita harus mampu hadir sebagai penyeimbang diantara tujuan pemenuhan hak atau kepentingan korban dan tujuan memperbaiki diri pelaku kejahatan, serta mengembalikan harmoni di dalam masyarakat,” Ucap Burhanuddin
Khusus untuk wilayah Sumatera Barat sambung Jaksa Agung, sampai dengan tanggal 20 Juli 2022, baru tercatat jumlah penghentian penuntutan berdasarkan RJ sejumlah 20 perkara.
Angka ini kata Jaksa Agung, terbilang sedikit di bandingkan dengan jumlah dari wilayah Kejaksaan Tinggi (Kejati) lain se-Pulau Sumatera, padahal Sumatera Barat adalah salah satu provinsi dengan jumlah kekayaan adat dan kearifan lokal yang sangat banyak dan beragam.
“Oleh karena itu, saya instruksikan agar masing-masing satker di wilayah Sumatera Barat dalam pelaksanaan RJ harus mampu secara maksimal menggali nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Sumatera Barat. Saya contohkan, jajaran Kejaksaan dapat bersinergi dengan lembaga kerapatan adat nagari atau lembaga perwakilan permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi nagari yang telah ada dan eksis secara turun temurun, di tengah-tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat,” tutur Jaksa Agung.
Jaksa Agung juga menyampaikan bahwa tonggak perubahan paradigma penegakan hukum dan pemidanaan restoratif yang ditancapkan Kejaksaan RI, ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang selanjutnya dikenal Perja RJ. Kebijakan tersebut telah memajukan perubahan paradigma penegakan hukum sehingga masyarakat memposisikan restorative justice identik dengan Kejaksaan.
Jaksa Agung melanjutkan, dalam rangka mendukung pelaksanaan pendekatan RJ, Kejaksaan telah mengeluarkan terobosan berikutnya, yaitu dengan menghadirkan Rumah Restorative Justice (Rumah RJ). Rumah RJ berfungsi sebagai wadah untuk menghadirkan Jaksa di tengah-tengah masyarakat, sebagai media untuk dapat bertemu dan mendengar aspirasi secara langsung dari masyarakat, dimana wadah tersebut turut melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat untuk menyelaraskan setiap nilai-nilai hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dalam rangka penyelesaian permasalahan hukum yang ada.
“Saya ingin memberikan apresiasi kepada Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi), Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri), Aspidum (Asisten Tindak Pidana Umum), dan Kasipidum (Kasi Tindak Pidana Umum) di wilayah Sumatera Barat, karena berdasarkan data laporan yang masuk kepada saya pada tanggal 7 Juli 2022, di wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi telah terbentuk sejumlah 12 (dua belas) Rumah RJ dan jumlah ini tercatat tertinggi kedua se-pulau Sumatera,” imbuh Jaksa Agung.
Lebih jauh Jaksa Agung mengingatkan kembali esensi di bentuknya Rumah RJ adalah wujud usaha Kejaksaan untuk hadir secara langsung di tengah masyarakat bersama dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat guna mengaktualisasikan sila ke-4 Pancasila, serta menggali nilai kearifan lokal masyarakat.
“Melihat banyak kearifan lokal yang ada di Sumatera Barat yang menggambarkan nilai musyawarah mufakat seperti prosesi duduk Mamak dalam mengawali acara pernikahan adat, dan pengedepanan prinsip hidup basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik yang artinya bersilang kayu dalam tungku makanya api akan hidup, yang bermakna bahwa setiap persoalan yang akan dimusyawarahkan akan selalu dipecahkan sesuai dengan bentuk persoalan itu sendiri. Nilai kearifan tersebut spiritnya sejalan dengan semangat RJ yang sedang kita laksanakan,” tutupnya.
Kunjungan kerja Jaksa Agung Burhanuddin didampingi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Ketut Sumedana, Asisten Umum Jaksa Agung Kuntadi, Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro Dewanto dan disambut oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Yusron beserta jajaran, yang dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan. (K.3.3.1/Kasi Penkum Kejati Riau/Hen)