Sulbar – Hasil penyidikan Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejati Sulbar, Senin (01/8/2022) telah ditetapkan 3 orang tersangka dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Pengalihan Hak pada Hutan Negara dengan Fungsi Lindung di Desa Tadui Kabupaten Mamuju.
Penyidik Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejati Sulbar menetapkan tersangka MI pegawai BPN Mamuju tahun 2017 (sekarang ASN Kanwil Pertanahan), MN pegawai BPN Mamuju tahun 2017 (sekarang Kepala BPN Majene) dan MU pegawai BPN Mamuju tahun 2017 (sudah pengsiun).
Selanjutnya terhadap para tersangka akan dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Nomor: PRINT – 553/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, PRINT – 554/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, PRINT – 555/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, tanggal 1 Agustus 2022 di Rutan Klas IIB Mamuju, selama 20 hari terhitung mulai hari ini.
Penahanan tersebut dilakukan dengan pertimbangan. Alasan Objektif Pasal yang disangkakan kepada Para Tersangka adalah Pasal yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun vide Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP.
Alasan Subyektif, adanya kekhawatiran terhadap tersangka akan melarikan diri dan merusak atau menghilangkan barang bukti, serta mempengaruhi saksi-saksi lainnya. Berkas perkara tersangka telah dalam tahap penyusunan, sehingga proses penanganannya akan cepat selesai.
Berdasarkan siaran pers Nomor : SP- 25 /P6/Kph.3/08/2022 yang di sampaikan oleh Kasi Penkum Kejati Sulbar Amiruddin menyebutkan bahwa pada tahun 2016, ADH membeli lahan dalam Kawasan Hutan Lindung yang terletak di Desa Tadui dengan maksud akan membangun usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Atas permintaan ADH, Kepala Desa Tadui SB untuk menerbitkan Sporadik yang statusnya dicantumkan sebagai tanah negara bebas, padahal diketahui lokasi tersebut adalah Kawasan hutan.
Berdasarkan Sporadik tersebut, ADH mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat kepada Kepala BPN Mamuju HN. Selanjutnya TIM A (Pemeriksa Tanah) tahun 2017 yang diangkat oleh HN ditugaskan untuk memberikan rekomendasi persyaratan diterbitkannya status kepemilikan, yang timnya beranggotakan MI, MN dan MU serta SB (tersangka sebelumnya).
Tim A tidak melaksanakan tugasnya mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai status tanah, apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak, padahal diketahui bahwa yang dapat menggugurkan permohonan untuk penerbitan sertifikat tanah adalah salah satunya merupakan Kawasan hutan lindung.
Selanjutnya, berdasarkan rekomendasi Tim A, Kepala BPN Mamuju HN menyetujui penerbitan status kepemilikan permohonan ADH, tanpa berkoordinasi atau meminta informasi dari Dinas Kehutanan atau instansi berwenang lainnya, dan selanjutnya pada tanggal 23 Maret 2017, menerbitkan SHM No. 611 seluas 10.370 M2, atas nama IP (istri ADH).
Pada tahun 2019, diatas lahan SHM No. 611 tersebut, ADH membangun SPBU. ADH mendapatkan kepastian informasi tentang Kawasan hutan dari Notaris, namun ADH sampai saat ini tidak menggubris adanya pengeluaran luasan tersebut, SPBU tetap dibangun dan dikelola sampai saat ini, bahkan di atas lahan tersebut juga dibangun fasilitas penunjang seperti rumah makan dan bangunan yang kemudian disewakan sebagian lahannya untuk minimarket Indomaret.
Atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut, negara dirugikan senilai Rp. 2.817.137.263 (dua miliar delapan ratus tujuh belas juta seratus tiga puluh tujuh ribu dua ratus enam puluh tiga rupiah), serta ADH mengambil keuntungan yaitu berupa penguasaan lahan Kawasan hutan, harga sewa bangunan gedung untuk indomaret dan usaha rumah makan yang dibangun di atas lahan tersebut.
Pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara, dan denda maksimal Rp 1 miliar. (Kejagung RI/Hen)