Oleh :
Dr Supardi SH MH., Als. Rd Mahmud Sirnadirasa. (Kepala Kejaksaan Tinggi Riau)
بِسْمِ ه اللِّٰ الرَّحْمٰنِ بِسْمِِ اِللِِّٰ اِلرَّحْمٰنِِ اِِلرَّحِيْمِِ بِِسْمِِ اِللِِّٰ اِلرَّحْمٰنِِ اِلرَّحِيْمِِ
وَالصَّلََةِ وَِالسَّلََ مِ عَِِلَى محَمَّ دِ وَِاٰلِهِِ مَِعَِ اِلتَّسْلِيْمِِ وَِبِهِِ نَِسْتَعِيْ نِ فِِى تَِحْصِيْلِِ اِلْعِنَايَةِِ اِلْعَآمَّةِِ وَِالْهِدَايَةِِ اِلتَّآمَّةِ، آِِمِيْنَِ يَِا رَِبَِّ اِلْعَالَمِيْنَِ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
ك لِ عَِمَلِِ اِبْنِِ آِِدَمَِ لَِِهِ إِِِلَِّ اِلصَّوْ مِ :ِ فَِِإِنَّهِ لِِي وَِأَنَا أَِجْزِيِْ بِِهِِ
Pembaca yang InsaAllah akan di Masukkan Allah ke dalam SyurgaNYA, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amal anak Adam menjadi miliknya kecuali puasa, ia milik-Ku dan Aku Sendiri yang akan memberi imbalannya” (Shahih Muslim).
عَلَيْكَِ بِِالصَّوْمِِ فَِإِنَّهِ لَِِ مِِثْلَِ لَِهِ
Hadist lain, Rasulullah SAW juga bersabda kepada seseorang, “Hendaklah kamu berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya” (an-Nasa’i, Siyam 2220).
لَيْسَِ كَِمِثْلِهِِ شَِيْ ءِ ۞ِِۖ
Allah SWT juga berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11).
Puasa adalah sifat Samdaniyyah (sifat khusus yang hanya menjadi milik Allah SWT sebagai Maha Tempat Bergantung), yakni pelepasan dan penyucian dari makanan.
Hakikat makhluk menuntut adanya makanan. Ketika hamba hendak menyifati sesuatu yang bukan termasuk bagian dari hakikatnya untuk bisa ia sifati, dan ia menyifatinya hanya karena tuntunan syari‘at berdasarkan firman Allah SWT:
يٰٰٓايَ هَا اِلَّذِيْنَِ اِٰمَن وْا كتِبَِ عَِلَيْ ك مِ اِل صيَا مِ كَِمَا كتِبَِ عَِلَى اِلَّذِيْنَِ مِِنِْ قَِبْلِ كمِْ لَِعَلَّ كمِْ تَِتَّق وْ نَِ ۞ِِ
“Telah ditetapkan bagi kalian puasa sebagaimana telah ditetapkan bagi orang-orang sebelum kalian” (QS. 2:183), maka Allah SWT berfirman padanya, “Puasa adalah milik-Ku, bukan milikmu!” dengan kata lain, “Akulah yang seharusnya tidak makan dan minum. Dan jika puasa adalah seperti itu dan yang membuatmu memasukinya adalah karena Aku mensyari‘atkannya padamu, maka Aku Sendiri yang akan memberi imbalannya.
Dalam bab Ibadah Puasa ini ” Seakan-akan Allah SWT mengatakan kepada orang yang berpuasa, “Akulah yang menjadi imbalannya, karena Akulah yang dituntut oleh sifat pelepasan dari makanan dan minuman, tetapi engkau melekatkan sifat itu padamu wahai orang yang berpuasa, padahal sifat itu bertentangan dengan hakikatmu dan bukan milikmu. Karena engkau bersifat dengannya ketika engkau berpuasa, maka sifat itu memasukkanmu kepada Diri-Ku.
Kesabaran (yang ada dalam puasa) adalah pengekangan bagi jiwa, dan engkau telah mengekangnya atas perintah-Ku dari mengkonsumsi makanan dan minuman yang diperbolehkan oleh hakikatnya.”
لِلصَّآئِمِِ فَِرْحَتَانِِ فَِرْحَةِ عِِنْدَِ اِِلْف طوْرِِ وَِفَرْحَةِ عِِِنْدَِ لِِقَِآءِِ رَِب هِِ
Rasulullah Saw juga bersabda, “Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan: Kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Rabbnya”. “… Kegembiraan saat berbuka …”
ini adalah kegembiraan untuk ruh hewaninya, bukan yang lain dan kegembiraan saat bertemu dengan Rabbnya” dan ini adalah kegembiraan untuk jiwa rasionalnya (an-nafs an-nāṭiqah), yakni sisi lembut Rabbaninya (al-laṭīfah ar-rabbāniyyah).
Puasa memberinya pertemuan dengan Allah Swt., yakni musyahadah atau penyaksian.
Berdasarkan hal ini, puasa lebih tamam dan lengkap dibandingkan shalat, karena puasa menghasilkan pertemuan dengan Allah dan penyaksian-Nya. Shalat adalah munajat, bukan musyahadah, sehingga terdapat hijab yang menyertainya
وَمَا كَِانَِ لِِبَشَ رِ أَِنِْ يِ كَلِ مَِهِ اِللّٰ إِِِلَِّ وَِحْيًا أَِوِْ مِِنِْ وَِرَاءِِ حِِجَا بِ أَِوِْ يِ رْسِلَِ رَِ سولًِ فَِي وحِيَِ بِِإِذْنِهِِ مَِا يَِشَا ءِ إِِِۚنَّهِ عَِلِ يِ حَِكِي مِ ۞ِ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (QS. 42:51). Allah SWT menyertai pembicaraan dengan-Nya dengan hijab, dan munajat adalah percakapan serta pembicaraan. Dia berfirman, “Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Lalu manusia yang menjadi Hamba berkata: Al-ḥamdulillãhi rabbil ‘ãlamîn’, Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.” Sementara itu, tidak ada pembagian dalam puasa. Ia hanya milik Allah SWT dan bukan milik hamba.
Tetapi hamba memperoleh imbalan dan ganjarannya dikarenakan puasa itu sendiri adalah milik Allah SWT.
Di sini terdapat sebuah rahasia nan mulia, yakni musyãhadah dan munãjat tidak akan pernah bisa bersatu. Musyahadah membuat orang terpana, sementara percakapan memberikan pemahaman.
Pembaca yang di Rahmati Allah SWT, Dalam sebuah perbincangan, engkau lebih memperhatikan apa yang sedang dibincangkan, bukan orang yang sedang berbicara, siapa pun atau apapun itu. Karena itu, pahamilah Al-Qurãn niscaya engkau akan memahami Al-Furqãn.
اَللٰ همَِّ سَِلِ مْنَا إِِلَىِ رَِمَضَانَِ وَِسَلِ مِْ لَِنَاِ رَِمَضَانَِ وَِتَسَلَّمْهِ مِِنَّا متَقَبَّلًَِ
“Ya Allah, antarkanlah kami hingga sampai kepada Ramadhan, antarkanlah Ramadhan kepada kami, dan terimalah amal-amal kami di bulan Ramadan.” Al-Futuhat Al-Makkiyyah jilid 4 bab 47. Diterjemahkan oleh Harun Nur Rosyid.
Pekanbaru, Sabtu (01/04/2023).