Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja dan Sumatera)*
Istilah muhasabah sosial atau introspeksi jama’ah yang lebih tepat bukan masalah. Namun usaha kritik sosial dalam konteks perbaikan atau pembenahan suatu tatanan masyarakat patut diadakan untuk membangun suatu kehidupan dalam kedamaian. Bahkan kritik sosial sebagai satu indikasi perkembangan pemikiran manusia yang menjadi syarat terbentuknya suatu peradaban.
Teruntuk tragedi rendang di kota Palembang yang ramai diperbincangkan patut disikapi dalam posisi tersebut. Pemahaman akan suatu realita suatu kota yang memiliki makanan khas Pempek dan bukan Rendang sebagai suatu hal penuh pertanyaan, bersandingan dengan kondisi yang menggambarkan suatu antusiasme yang menjadikan masyarakat setempat tanpa dapat dikendalikan.
Bukan emosi semata serta sikap kontraproduktif terlebih melawan hukum yang dapat berakibat buruk semua pihak, namun menjadi bijak dengan menimbang tragedi tersebut sebagai momen bersama termasuk masyarakat Palembang untuk melakukan perhitungan terhadap tumbuh kembang sebagai bersejarah panjang dengan menjadi kota tertua di Indonesia.
Citra dan Premanisme di Palembang
Bukan kasar, namun lebih tepatnya keras dalam intonasi bicara serta dan dikenal memiliki watak “straight” khususnya dalam beragama serta terbiasa bertindak cepat menjadi citra masyarakat Sumatera Selatan. Sisi lain, premanisme, sebagaimana kejahatan yang sebenarnya juga terdapat di kota-kota besar lain, juga terdapat di sana. Sayangnya, kedua kondisi ini seringkali dilihat secara campur aduk sampai sulit dibedakan. Selain itu, karakter masyarakat lain sebagaimana terdapat juga pada masyarakat pada umumnya juga ada namun tidak terlampau mengemuka.
Ditambah lagi sikap konservatif beberapa pihak yang disokong media mempertebal citra tersebut. Meski diakui, khususnya penulis sendiri yang sempat berdomisili dan bekerja di kota Palembang, mengalami berbagai kejadian yang tidak senyaman di daerah asal atau kota yang pernah penulis tinggali. Seperti di beberapa sudut dari kota tersebut, di remang keramaian dan kemegahan Palembang penulis pernah mendapati hingga beberapa kali, orang yang melakukan tindakan pemalakan, usaha pencopetan dan lain-lain yang jelas merugikan banyak orang termasuk wisatawan dan masyarakat awam yang tidak bersalah.
Momentum Perbaikan Sosial
Jika sudah bukan rahasia umum, maka suatu kesalahan baiknya sebisa mungkin untuk dilakukan perbaikan. Secara sederhana, Palembang termasuk kota besar bahkan dikenal terbesar kedua di Sumatera, yang juga mengalami tumbuh kembang sebagaimana kota-kota pada umumnya. Selain itu, Palembang juga secara pertumbuhan ekonomi cukup tinggi berdasar RKP kementerian PUPN tahun 2024 bahkan termasuk tinggi dalam skala nasional. Artinya alasan sosial dan ekonomi yang sering kali melatarbelakangi tindakan suatu masyarakat tidak lagi dapat dijadikan alasan.
Maka faktor penting dalam perbaikan masyarakat sekali lagi sebagai diskursus kritik sosial selanjutnya adalah kesadaran. Masyarakat daerah tersebut termasuk kota Palembang menjadi kuncinya. Tidak menuggu atau mengandalkan yang lain. Jika sudah begitu, perubahan nyata dapat tercipta dan perbaikan akan dirasa serta secara otomatis citra akan masyarakat terbentuk dengan sendirinya. (rilis)