Sumatratimes.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan DPR. KPU penyelengara pemilu, sedangkan DPR lembaga wakil rakyat.
Tak mau kalah dengan lembaga wakil rakyat itu, KPU menyampaikan rancangan peraturan KPU (PKPU) ke Presiden Jokowi, Senin (11/11/2019) di Istana Merdeka, Jakarta. Peraturan KPU itu sebagai pengganti undang-undang untuk melarang mantan napi korupsi untuk ikut serta mencalon sebagi kepala daerah dalam pemilu.
Dalam rancangan itu, KPU masih mengusulkan larangan pencalonan mantan narapidana korupsi kembali mencalonkan diri di Pilkada 2020.
“Kami sampaikan rancangan peraturan KPU, masih usulkan larangan pencalonan terpidana korupsi,” ujar Ketua KPU Arief Budiman, Senin (11/11/2019) di Kantor Presiden, Jakarta.
Lantas mengapa KPU masih mengusulkan agar pasal itu tetap dimasukkan dalam PKPU maupun Revisi UU Pilkada dan UU Pemilu?
Ternyata karena ada novum baru, ada fakta baru yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang argumentasi ini patah.
“Saat Pileg, Pilpres kemarin, KPU memasukkan itu kemudian di judicial review di MK. Hasilnya frasa mantan korupsi dibatalkan, yang frasa larangan napi kejahatan seksual dan bandar narkoba tidak dibatalkan,” tutur Arief Budiman.
Dia menjelaskan dirinya kembali mengusulkan eks Napi koruptor dilarang maju dalam Pilada 2020 karena argumentasi pertama, KPU diminta tidak mengatur itu, baiknya serahkan ke masyarakat sebagai pemilih.
Faktanya ada calon yang sudah ditangkap, sudah ditahan tapi terpilih juga. Padahal orang yang sudah ditahan ini ketika terpilih tidak bisa memerintah, yang memerintah adalah orang lain.
Jadi sebetulnya apa yang dipilih oleh pemilih menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan yang dipilih, tetapi orang lain. Itu fakta yang pertama, terjadi di Tulungagung dan Maluku Utara, pemilihan Gubernur Maluku Utara,” ungkap Arief Budiman.
Kedua, ada argumentasi jika sudah ditahan. Maka eks napi sudah tobat dan tidak akan mengulangi lagi menjadi penjahat berkerah putih. Tapi faktanya di Kudus, ada kepala daerah yang sudah pernah ditahan, sudah bebas, “nyalon” lagi, terpilih, korupsi lagi.
“Atas dasar dua fakta ini yang kami menyebutkan sebagai novum, maka kami mengusulkan ini tetap diatur di pemilihan kepala daerah. Argumentasi berikutnya adalah kalau Pileg mewakili semua kelompok, ya udahlah siapapun, kelompok apapun harus diwakili,” imbuhnya.
“Tetapi pemilihan kepala daerah hanya memilih satu orang untuk menjadi pemimpin bagi semuanya maka kami ingin satu orang itu betul-betul mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sekaligus menjadi contoh yang baik. Salah satunya adalah punya rekam jejak yang baik, itu mengapa kami masih mengusulkan di dalam pemilihan kepala daerah,” paparnya.
Terakhir Arief Budiman mengusulkan apabila ada Undang-Undang yang harus direvisi maka revisi harus selesai dalam tiga tahun sebelum penyelenggaraan pemiilu.
“Jadi 2021 kami berharap revisi UU sudah selesai. Sehingga 1 tahun, 2021-2022 kita gunakan untuk sosialisasi, menyusun PKPU, kemudian 2023-2024 kita tinggal memasuki tahapan penyelenggaraan,” tambahnya. (sumber: tribunnews.com)
Redaksi : Amran