Sumatratimes.com — Umat Islam etnik Uighur, dan minoritas lainnya di Xinjiang, China mengalami pelarangan menjalankan ibadah oleh pemerintah komunis China.
Jika pada bulan suci Ramadhan seluruh umat Islam di dunia menjalankan ibadah puas, maka otoritas Cina melakukan tindakan keras terhadap umat Islam yang berpuasa dan menjalankan praktik keagamaan.
Menurut organisasi Human Rights Watch dan para aktivis, pembatasan itu terutama diberlakukan di Provinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya Muslim. Otoritas Cina seringkali tinggal di rumah keluarga Muslim untuk menekan kegiatan keagamaan mereka.
Amnesty International mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis akhir pekan lalu, otoritas Cina memandang puasa Ramadhan dan aktivitas lain yang berafiliasi keagamaan, termasuk jenggot, jilbab, shalat lima waktu, dan larangan konsumsi alkohol sebagai tanda ekstremisme.
“Semua ini bisa membuat Anda berada di salah satu kamp penataran Xinjiang, yang oleh pemerintah disebut pusat transformasi-melalui-pendidikan,” kata laporan itu.
Otoritas Cina telah lama memandang agama terorganisir sebagai ancaman terhadap kesetiaan pada partai komunis China, dan menjaga kontrol ketat pada semua kelompok agama. Minoritas (etnis) Muslim (beragama Islam) di wilayah Xinjiang telah menanggung beban tindakan keras yang jauh lebih agresif.
Alip Erkin, seorang aktivis media dari Buletin Uyghur, mengatakan, meski pembatasan puasa Ramadhan di sekolah dan kantor pemerintah ada selama beberapa dekade, pengawasan dan penahanan massal teah meningkat selama tiga tahun terakhir.
Pembatasan itu menjadi upaya menghentikan keluarga di sana mengikuti tradisi (ajaran) Agama Islam, bahkan di rumah mereka sendiri.
Erkin mengatakan orang-orang sekarang khawatir mereka akan dikirim ke kamp-kamp pencucian otak jika mereka terlibat dalam kegiatan keagamaan atau mengungkapkan identitas agama atau budaya tradisional mereka.
ABC menghubungi kantor Administrasi Urusan Agama Nasional Cina untuk meminta komentar, tetapi belum ada tanggapan. Pihak berwenang Cina sebelumnya mengatakan, mereka tidak membatasi praktik Ramadhan.
Pada 2016, Dewan Negara Cina menerbitkan sebuah dokumen berjudul Kebebasan Beragama Beragama di Xinjiang, yang mengatakan perasaan dan kebutuhan agama warga negara dihormati sepenuhnya.
Dikuliahi nilai-nilai sosialis komunis
Erkin, yang sekarang tinggal di Australia, mengatakan selama masa sekolahnya, puasa dan berdoa selama Ramadhan tidak dianjurkan.
“Pada 2014, larangan itu semakin intensif. Mereka mulai mengumpulkan orang-orang di tempat kerja dan sekolah dan memberi mereka makan siang untuk memastikan mereka tidak berpuasa,” katanya.
ABC telah menemukan postingan dan pemberitahuan di berbagai situs pemerintah yang berasal dari 2014 dan 2015 yang melarang tradisi puasa dan Ramadhan. Pemerintah memperingatkan setiap restoran yang tutup selama Ramadhan berisiko kehilangan lisensi.
Situs-situs pemerintah itu tampaknya tidak memiliki postingan terbaru yang melarang puasa dan shalat, tetapi para aktivis mengatakan larangan tak resmi bagi pelajar dan pejabat pemerintah tetap diberlakukan di seluruh Cina.
Tindakan keras terhadap kebebasan beragama di rumah juga telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Meski ada pembatasan ketat di lembaga pemerintah di seluruh Cina selama 2014 dan 2015, Erkin mengatakan keluarganya masih diberi kebebasan beragama di rumah.
“Ayah saya, yang adalah seorang pengusaha dan tidak memiliki koneksi ke Pemerintah, dulu bisa berpuasa di rumah tanpa batasan,” kata Erkin.
Tetapi pada Mei 2017 semua itu berubah. Ayahnya yang adalah seorang Muslim yang taat ditahan. Pada tahun yang sama, laporan-laporan tentang penawanan massal mulai muncul dan pengawasan ditingkatkan.
PBB memperkirakan hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp penataran di Provinsi Xinjiang sejak 2017. Kamera dan perekam audio kini ditemui di setiap jalan dan memantau pintu banyak rumah.
Keluarga diawasi
Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk etnis Uighur beragama Islam.
“Pejabat pemerintah juga mulai melakukan kunjungan rumah rutin di Xinjiang di mana keluarga diharuskan memberikan informasi kepada petugas tentang kehidupan dan pandangan politik mereka, dan menjadi sasaran indoktrinasi politik,” menurut laporan Human Rights Watch dari Mei tahun lalu.
Aileen (37 tahun), minoritas Hui penganut Islam dari Provinsi Gansu, mengatakan para pejabat secara rutin menggeledah rumah. Mereka tinggal bersama keluarga di Xinjiang selama sekitar satu pekan untuk memastikan tidak ada praktik keagamaan di dalam rumah itu.
“Jika barang-barang seperti sajadah atau buku-buku keagamaan ditemukan, mereka biasanya ditahan. Kebanyakan orang tak lagi menyimpan Al Qur’an di rumah mereka,” kata Aileen, yang meminta agar dikutip nama depannya saja untuk melindungi anggota keluarga yang masih tinggal di Cina.
Selain tinggal di rumah, para pejabat lokal secara teratur mengunjungi keluarga-keluarga dengan mendadak untuk memeriksa mereka tidak berpuasa atau berdoa.
Ceramah tentang nilai-nilai inti sosialis juga sering diadakan untuk menyapa Ramadhan, menurut sebuah artikel dari media pemerintah Cina, Global Times, yang diterbitkan tahun lalu.
Erkin menggambarkan satu ceramah seperti itu di mana seorang pejabat pemerintah menginstruksikan orang untuk tidak menggunakan sapaan khas Muslim seperti Assalamualaikum, yang berarti damai besertamu.
Sasaran utama pengawasan dan penahanan adalah etnis Uighur, salah satu dari beberapa minoritas Muslim yang tinggal di Cina yang telah berjuang untuk kemerdekaan dari Cina di masa lalu. Meski ada pengawasan dan beberapa pembatasan pada praktik keagamaan di wilayah lain di Cina, Aileen, yang sekarang menjadi penduduk Australia, mengatakan keluarganya di Gansu masih diizinkan berpuasa dan berdoa.
Tetapi di Provinsi Xinjiang, semua Muslim telah mengalami penahanan dan larangan praktik keagamaan.
Kampanye balas dendam
Di Xinjiang, Erkin mengatakan ancaman penangkapan telah menciptakan iklim ketakutan di mana orang-orang menyensor diri sendiri dari aktivitas keagamaan dan terlalu takut untuk berpuasa di rumah mereka sendiri.
Aktivis di seluruh dunia telah menyerukan gerakan #FastFromChina sebagai balasan atas larangan itu, menyerukan umat Islam dan pendukung hak asasi manusia menahan diri dari membeli produk-produk Cina untuk mendukung minoritas Muslim Cina yang tertindas.
“Cina adalah satu-satunya tempat di dunia di mana umat Islam tidak boleh berpuasa,” kata sebuah postingan di situs Save Uighur yang mengumumkan kampanye tersebut.
“Kami menyerukan kepada orang-orang yang peduli pada kebebasan beragama untuk tidak membeli produk Cina selama Ramadhan. Ramadhan adalah tentang mengurangi konsumsi dan berbagi lebih banyak. Jadi mari kita berpuasa dari produk Cina sebagai solidaritas untuk mereka yang tidak bisa berpuasa di Cina.”
Postingan Twitter dan postingan Facebook yang berisi tagar #FastFromChina telah diunggah dari banyak negara termasuk AS, Australia, Inggris, dan negara-negara di seluruh Timur Tengah. “Ramadhan yang akan datang ini, jangan hanya berpuasa dari makanan dan air, tetapi juga dari produk-produk buatan Cina,” tulis Aydin Anwar, warga Uighur-Amerika di Twitter.
“Ini akan menjadi langkah besar ke depan dalam menantang genosida Cina terhadap warga Uyghur dan bangsa Altaik (yang banyak mendiami wilayah Asia Tengah dan Barat) lainnya”. (sumber : republika.co.id)
Redaksi: Amran