Jakarta- Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 3 (tiga) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.
Penghentian 3 perkara melalui Restorative Justice tersebut dibenarkan oleh Kapuspenkum Kejagung Dr Harli Siregar Senin (1/7/2024).
Dalam keterangan pers dijelaskan, adapun, salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin dari Kejaksaan Negeri Ketapang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kronologi bermula saat Korban Muhammad Rajianto yang merupakan karyawan cafe Pondok Kelapa Muda sedang men-charger handphone merek OPPO A38 warna hitam miliknya di atas meja teras cafe, lalu Korban Muhammad Rajianto tidur di teras cafe Pondok Kelapa Muda tersebut.
Saat kejadian itu, Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin dan Saksi Deo juga menumpang tidur di teras cafe Pondok Kelapa Muda dikarenakan cuaca saat itu sedang hujan. Suatu ketika, Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin terbangun sedangkan Korban Muhammad Rajianto dan Saksi Deo masih tertidur, Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin melihat ada 1 (satu) buah handphone merek OPPO A38 warna hitam yang sedang dicharger di atas meja teras.
Dengan kondisi tersebut, Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin tanpa seizin Korban mengambil 1 (satu) buah handphone merek OPPO A38 warna hitam tersebut dan memasukannya ke dalam tas milik Tersangka, lalu Tersangka pergi menuju Ketapang.
Akibat perbuatan pencurian Tersangka Dani Angga Bayu Sapseta alias Angga bin (Alm) Syamsudin, Korban Muhammad Rajianto mengalami kerugian kurang lebih senilai Rp3.120.000 (tiga juta seratus dua puluh ribu rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Ketapang Anthoni Nainggolan, S.H., M.H. bersama Kasi Pidum Novan Arianto, S.H. serta Jaksa Fasilitator Arief Wirawan Atmaja, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Setelah itu, korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Ketapang mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat Edyward Kaban, S.H., M.H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 1 Juli 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 2 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
2. Tersangka Saruddin Siregar dari Kejaksaan Negeri Padang Lawas Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (2) jo. Pasal 356 ke-1 KUHP Subsidair Pasal 351 Ayat (1) jo. Pasal 356 ke-1 KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Sitti Dg Kampong dari Kejaksaan Negeri Takalar, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
• Tersangka belum pernah dihukum;
• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
• Pertimbangan sosiologis;
• Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum, tutup Kapuspenkum Kejagung Dr Harli Siregar (redaksi)