Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 11 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Marsin Amato alias Ongku dari Kejaksaan Negeri Pohuwato, yang disangka melanggar Pasal Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kapuspenkum Kejagung Dr Harli Siregar dalam keterangan persnya Senin (12/8/2024) menyampaikan, adapun Kronologi bermula pada hari Rabu tanggal 15 Mei 2024 sekitar pukul 19.00 WITA, Saksi Korban Idrak Mulane hendak pergi bekerja ke lokasi tambang yang berada di Desa Karya Baru Kecamatan Dengilo Kabupaten Pohuwato dengan mengendarai sepeda motor merek Yamaha Vega R warna merah dengan nomor polisi DM 3358 DH, kemudian sesampainya di lokasi tambang tersebut, saksi korban memarkirkan sepeda motornya di tempat parkir lokasi tambang dan langsung pergi untuk bekerja menambang.
Kemudian pada keesokan harinya sekitar pukul 06.30 WITA. Tersangka Marsin Amato alias Ongku yang hendak bekerja untuk menambang, sebelum tersangka bekerja, tersangka beristiahat terlebih dahulu di tempat parkiran motor dengan cara duduk diatas motor milik saksi korban Idrak Mulane
Selanjutnya, Tersangka Marsin Amato alias Ongku melihat kontak sepeda motor milik saksi korban Idrak Mulane dalam posisi menyala (on) namun tidak ada kunci yang terpasang di kontak sepeda motor tersebut, sehingga pada saat itu tersangka berinsiatif menyalakan sepeda motor milik saksi Idrak Mulane dengan cara menginjak starter kaki sepeda motor dan motor tersebut bisa menyala.
Kemudian tanpa berpikir panjang, tersangka langsung mengambil dan membawa sepeda motor milik saksi korban Idrak Mulane tersebut menuju ke Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo dan menjual sepeda motor milik saksi korban Idrak Mulane tersebut kepada saksi Ucon Ibrahim dengan harga Rp1.700.000,00 (satu juta tujuh ratus ribu rupiah).
Lalu uang hasil penjualan motor milik saksi korban Idrak Mulane digunakan tersangka untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dan tersangka dalam melakukan perbuatannya tidak pernah meminta izin terlebih dahulu kepada saksi korban Idrak Mulane, sehingga akibat perbuatan tersangka tersebut, saksi korban Idrak Mulane mengalami kerugian sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Pohuwato Dr. Arjuna Meghanada Wiritanaya, S.H. M.H. bersama Kasi Pidum Lulu Marluki, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Aditya Wibowo, S.H menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Pohuwato mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo Sofyan S, S.H., M.H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 12 Agustus 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 10 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
2. Tersangka Simon Tondo alias Simon dari Kejaksaan Negeri Boalemo, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Subsidiair Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3. Tersangka Risman Akurama dari Kejaksaan Negeri Boelemo, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiyaan.
4. Tersangka Ninis Sulastri binti Ahmad dari Kejaksaan Negeri Banyuasin, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka Rian Gusti Pratama bin Nalmalion dari Kejaksaan Negeri Banyuasin, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Ferly Meisyah bin Maldi dari Kejaksaan Negeri Lubuk Linggau, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman.
7. Tersangka Lidan Budihartono bin Adiar dari Kejaksaan Negeri Seluma, yang disangka melanggar Pasal 5 Huruf a Jo Pasal 44 Ayat (1) atau Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
8. Tersangka Zaipi Eprizon bin Syabana dari Kejaksaan Negeri Seluma, yang disangka melanggar Pasal 5 Huruf a Jo Pasal 44 Ayat (1) atau Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Subsidair Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
9. Tersangka Agus Jalil bin Abdul Latif dari Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
10. Tersangka Margo bin Sawiyo dari Kejaksaan Negeri Majalengka, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
11. Tersangka Cevi bin (Alm) Makarim dari Kejaksaan Negeri Garut, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Lanjut Kapuspenkum Harli Siregar, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (redaksi)