Sumatratimes.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan standardisasi dai dalam rangka menyatukan persepsi dan langkah dakwah dalam mengembangkan ajaran Islam.
Di sisi lain, Kementerian Agama (Kemenag) pun mempunyai program ulama bersertifikat. Apa bedanya?
MUI memulai kegiatan standardisasi dengan mengundang para dai untuk bermusyawarah. Visi dan koordinasi dakwah menjadi bahasan dalam kegiatan itu.
“Para dai yang sudah berkiprah di masyarakat diundang ke MUI untuk musyawarah dan tukar pikiran agar menyatukan visi dan koordinasi langkah dakwah. Merekalah yang akan direkomendasi oleh MUI sebagai dai,” kata Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat KH Cholil Nafis, dalam keterangannya, Senin (18/11).
Menurut Cholil, materi yang dibahas secara garis besar meliputi wawasan keislaman, wawasan kebangsaan, dan metode dakwah. Materi moderasi beragama turut disampaikan.
“Materi wawasan Islam wasathi (moderat) mengulas tentang paham Islam yang diajarkan Rasulullah SAW dan dijelaskan oleh para sahabatnya. Islam wasathi sebagai arus utama paham Islam Indonesia,” kata dia.
“Mengikuti akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Islam yang tidak ekstrem kanan, juga tidak ekstrem kiri,” tambah Cholil.
Cholil menjelaskan metode dakwah yang disampaikan para dai harus bertujuan memperkuat agama Islam dan memperkokoh persatuan Indonesia. Cinta Tanah Air adalah bagian dari iman sehingga membela negara adalah bagian dari implementasi beragama Islam.
“Metode dakwah yang disepakati adalah yang menguatkan keagamaan Islam sekaligus memperkokoh persatuan dalam bingkai NKRI. Permasalahan khilafiyah (beda pendapat) harus ditoleransi dan menghormati perbedaan. Namun masalah penyimpangan (inhiraf) penodaan agama harus diamputasi,” jelasnya.
Cholil mengatakan para dai sepakat mengembangkan Islam untuk memperkuat kesatuan bangsa.
“Di akhir acara, semua peserta dai bersepakat untuk mengembangkan dakwah Islam wasathi dan menjaga keutuhan NKRI,” tuturnya.
Kegiatan standardisasi dai MUI ini kemudian direspons Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. Fachrul mengaku sudah memiliki program ulama bersertifikat.
“Kami memang punya program seperti itu. Saya belum tahu namanya apa, tapi mungkin Ulama Bersertifikat. Tapi nanti kami rumuskan apa yang betul,” ujar Fachrul di kantor Kemenag, Jl Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, Jumat (22/11).
Kendati demikian, Fachrul tak akan membeda-bedakan ceramah ulama yang bersertifikat dan tidak bersertifikat. Menurut dia, ulama yang tak bersertifikat pun tetap diperbolehkan berceramah.
“Tapi bukan berarti yang punya sertifikat boleh, lalu yang nggak punya nggak boleh, nggak,” katanya.
Fachrul mengatakan sertifikat itu juga tak menjadi syarat bagi seseorang untuk menyampaikan ceramah. Kini program Ulama Bersertifikat itu masih digodok Kemenag.
“Ya nanti kita lihat, dan kembali garis bawahi, tidak menjadi persyaratan orang untuk berceramah di mana-mana, silakan saja,” pungkasnya. (sumber: detiknews)
Redaksi: Amran