SumatraTimes.co.id – Kementerian Pertanian (Kementan) meminta pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit petani memperhatikan aspek keberlanjutan, terutama dalam kegiatan bisnisnya serta sejumlah aspek lainnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Antarjo Dikin menyatakan sangat mendukung berdirinya pabrik sawit petani di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, namun demikian memang harus diperhatikan sejumlah aspek pendukung seperti perizinan dan pembiayaannya.
“Pabrik sawit petani perlu memperhatikan aspek lingkungan dan sustainability, sehingga tidak terjadi persoalan limbah. Ini perlu menjadi perhatian,” ujarnya dikutip dari Antara, Senin, 17 Agustus 2020.
Pernyataan yang sama dikemukakan mantan Wamen Pertanian Rusman Heriawan bahwa pembangunan pabrik sawit merupakan gagasan bagus dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dan tantangan.
“Definisi mini plant atau pabrik mini harus diperjelas lagi berapa kapasitas olah TBS-nya. Apakah kapasitas cukup 20 ton TBS per jam, ukuran kapasitas ini harus didiskusikan bersama,” ujarnya.
Ia melanjutkan pabrik sawit petani sebaiknya memperhatikan keberlanjutan dalam kegiatan bisnisnya. Pengalaman menunjukkan tidak mudah bertahan menjaga keberlanjutan pabrik.
Dalam Dialog Webinar Sesi Kedua UMKM Sawit bertemakan “Peluang Pengembangan Mini CPO Plant bagi UMKM Sawit” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), itu Rusman menambahkan ada dua aspek penting keberlanjutan pabrik yaitu produksi dan pasar.
“Di sinilah studi kelayakan sangat dibutuhkan sebelum pabrik dibangun. Jangan sampai sebatas semangat saja,” ujar Wakil Menteri Pertanian periode 2011-2014.
Sebelumnya Ketua KUD Sawit Makmur, Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan Samsul Bahri menjelaskan pembangunan pabrik kelapa sawit petani di wilayah tersebut berkapasitas 45 ton TBS per jam. KUD Sawit Makmur menggandeng mitra dalam pembangunan pabrik yang membutuhkan investasi sekitar Rp200 miliar.
Menurut dia, berdirinya pabrik ini bertujuan membantu petani menjual hasil panen karena selama ini, mereka kesulitan memasarkan hasil panen ke pabrik kelapa sawit terdekat karena pabrik yang ada mengutamakan hasil dari kebun inti dan plasma sendiri.
“Hal tersebut yang mendasari (KUD) mendirikan pabrik sawit petani sesuai anjuran pemerintah daerah melalui dinas perkebunan provinsi dan kabupaten. Pabrik ini bertujuan menyejahterakan petani di wilayah kami,” ujarnya.
Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit Donald Siahaan menyebutkan format kelembagaan pabrik haruslah berbentuk korporasi bukan UMKM, karena ini berkaitan ukuran kapasitas pabrik skala komersil idealnya di atas 30 ton TBS/jam.
“Di sini perlu konsep baru pabrik sawit petani yaitu bahan baku berondolan dengan produk akhirnya tidak lagi CPO. Selain itu, lokasi pabrik tidak jauh dari industri energi maupun kesehatan,” katanya.
Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia Sahat Sinaga menuturkan lahirnya katalis merah putih yang dikembangkan Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan potensi besar bagi pabrik sawit petani.
Menurut dia, dengan harga sawit berfluktuasi tinggi maka kebun dan pabrik berada dalam satu entitas. Selain itu, harus dilihat juga pilihan teknologi pabrik sawit untuk disesuaikan kondisi kebun.***
Sumber: medcom.id
Editor : Amran