SumatraTimes.co.id – Pada tahun 1962, Kepolisian Negara Republik Indonesia diintegrasikan dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Pada tahun 1965, ide ketika Angkatan kelima muncul. Indonesia sudah punya empat angkatan: Darat, Laut. Udara, dan Kepolisian.
Siapakah yang punya ide angkatan Kelima? Subandrio, Wakil Perdana Menteri dan Kepala Badan Pusat Intelijen sampai tahun 1966, mengkambing hitamkan Sorkarno. Menurut Subandrio, ide itu dari Presiden Soekarno.
“Sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup,,” kata Subandrio, di buku Kesaksianku Tentang G30S (2000), halaman 19.
Tetapi, sumber lain menyebut, bahwa ide Angkatan Kelima itu muncul di awal tahun 1965, diusulkan oleh Ketua Comite Central (CC) PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit pada 14 Januari 1965, sebelum ia menghadap kepada Presiden Soakarno.
Waktu itu Aidit mengusulkan sebanyak 15 juta massa tani dan buruh dipersenjatai. (Warta Bhakti, 14 Januari 1965). Belum termasuk Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang melaksanakan latihan militer di Kali Bata. Mayoritas Pemuda Rakyat dan Gerwani dari kalangan buruh tani.
Berita tentang usulan Angkatan Kelima itu sampai juga ke Perdana Menteri Cina Zhou En Lai.
Karena itu, ketika ia berkunjung ke Jakarta, awal 1965, Zhou En Lai menawarkan bantuan sebanyak 100 ribu senjata ringan kepada Indonesia.
Tetapi, ide Angkatan Kelima ini ditolak oleh Angakatan Darat. Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang umumnya anti-PKI, menolaknya.
“Membentuk departemen Angkatan V (Kelima) tak efisien,” tolak Yani sebagaimana dilansir oleh Antara (28/7/1965).
Selain tidak efisien, menurut Yani, pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud Pertahanan Sipil (Hansip). Penolakan atas usulan Angkatan Kelima tersebut rupanya menjadi viral di kalangan militer, khususnya Angkatan Darat.
Maka, pada 1 Oktober 1965 jam 08.00, Ahmad Yani dipanggil oleh Presiden Soekarno. Agendanya tunggal: tentang Angkatan Kelima. Yani merasa bahwa dirinya akan dicopot dari jabatannya karena menolak ide Angkatan Kelima.
Tetapi, Yani sendiri tidak sempat menghadap Presiden Soekarno karena empat jam sebelumnya, ia diculik dan dibunuh oleh pasukan Cakrabirawa yang berafiliasi ke PKI.
Selain Yani, enam jenderal TNI AD juga jadi korban penculikan dan pembunuhan. Hanya Jenderal Abdul Haris Nasution yang berhasil meloloskan diri dari penculikan dan pembunuhan. Tetapi putri Nasutian, Ade Irma Suryani Nasution, tertembak dan menjemput kematiannya.
Penculikan atas tujuh jenderal di sepanjang malam (30 September) dan dinihari (1 Oktober 1965) tersebut merupakan klimaks dari makar yang dipersiapkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mayat para korban penculikan lalu dibuang di sumur yang ada di wilayah Halim. Sumur tersebut dikenal dengan nama Lubang Buaya. G30S/PKI berhasil digagalkan, dan ide Angkatan Kelima pun ditanggalkan.
Atas mandat yang diberikan oleh Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto melakukan operasi penertiban dan pengamanan. Pak Harto lalu mengambil langkah-langkah, di antaranya menyatakan bahwa PKI adalah partai terlarang dan para gembong pelaku Gerakan 30 September 1965 ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Langkah berikutnya adalah dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Lalu, Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Pada 26 Maret 1968 MPRS memberi mandat kepada Pak Harto, dan secara resmi menggantikan Soekarno sebagai presiden.
Jadi, pembubaran PKI dan ajarannya secara formal adalah produk dari MPRS yang punya sandaran hukum yang kuat.
Di era kemerdekaan, PKI yang berbasis pada buruh dan tani, dengan simbol utama palu dan arit/sabit, telah dua kali melakukan makar. Pertama pada tahun 1948, dengan membantai para ulama dan kaum santri di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan kedua pada tahun 1965, dengan menculik dan membunuh tujuh jenderal.
Pemberontakan dan Gerakan PKI lebih diperhatikan di Pulau Jawa, terutama Jakarta. Pergerakan dan anggota PKI di luar Pulau Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan lainnya, sangat minim informasi.
Pada Pemilu legislatif 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih 39 kursi di DPR dan 80 kursi Konstituante, dengan perolehan suara rakyat 6.176.914 suara atau 16,4 persen, dari total 37.785.299 pemilih. Basis massa PKI adalah buruh dan tani.
Lantas siapa mayoritas buruh dan tani itu? Sampai saat pemerintah sekarang ini, termasuk di jaman Pangkopkamtib pun data itu tak pernah diungkap.
Di era Orde Baru (Orba) konfik pertentangan di Indonesia lebih mengarah pada bahaya laten komunisme. Hampir setiap hari dari berbagai media cetak dan elektronik, mewanti-wanti bahaya gerakan komunis.
Namun di era reformasi, terjadi pergeseran. Konflik pertentangan lebih cendrung pada kedaerahan dan rasisme. Apa ini gerakan komunis gaya baru? Atau persaingan etnis dalam menguasai berbagai bidang?
Serta ada kejanggalan dalam berfikir, ketika di Uni Sovyet komunis runtuh, di Indonesia malah ada upaya menghidupkan kembali ajaran yang menihilkan Tuhan tersebut.***
Sumber: INI Network/Poskaltim
Editor: amran