Jakarta- Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana, Senin (26/9/2022), menyetujui 5 (lima) permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, S.H. M.H., Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat T.P. Oharda.
Siaran pers ( Nomor: PR – 1520/134/K.3/Kph.3/09/2022) yang di sampaikan Kapuspenkum Kejagung Dr. Ketut Sumedana SH.,MH., kepada awak media menyatakan adapun 5 (lima) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
Tersangka BAGIAN SEMBIRING dari Kejaksaan Negeri Karo yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka RICKY EL FEBRIYALI Pgl RICKY bin YALIANI dari Kejaksan Negeri Padang yang disangka melanggar Pasal 362 jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.
Tersangka BAHAGIA bin ABU BAKAR dari Kejaksaan Negeri Aceh Utara yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tersangka ZULKIFLI alias DON bin HASYIM dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Tersangka NIKO RAMADHANA alias BIM bin MULYADI dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Hen)