Ada 50 Perusahaan Besar di Kabupaten Rokan Hilir. Salah satunya PT. Chevron Pasific Indonesia. Persoalannya kemana larinya CSR dari Perusahaan-perusahaan tersebut ?
SUMATRATIMES.COM – PT Chevron Geothermal Indonesia (CGI) mengakui pihaknya telah melakukan pembangunan di kawasan hutan konservasi, lindung, dan hutan yang dikerjakan bersama masyarakat di wilayah Kab. Bandung dan Garut. Namun pembangunan di wilayah hutan itu untuk mengembangkan (eksplorasi) panas bumi, guna menghasilkan produksi listrik bagi cadangan di Jawa-Bali.
Meski membangun di kawasan konservasi, Chevron berdalih apa yang dilakukan sudah sesuai aturan yakni berdasarkan MoU antara pemerintah pusat bersama PT Pertamina dan PT Chevron sejak tahun 1984. Dengan masa eksplorasi sekitar 30 tahun dan belakangan diperpanjang menjadi 40 tahun. Eksplorasi panas bumi tersebut untuk mengejar target produksi listrik 330 megawatt.
Demikian diungkapkan Manager Policy Government & Public Affairs PT CGI, Alimin Ginting saat menghadiri pertemuan dengan Komisi D DPRD Jabar bersama seluruh stake holder, terkait pengaduan masyarakat terhadap pembangunan sumur panas bumi oleh PT Chevron di Desa Cihawuk, Kec. Kertasari, Kab. Bandung di Ruang Bamus DPRD Jabar, Jln. Diponegoro Bandung, Kamis (29/9).
“Sejak tahun 1984, pemerintah telah menguasakan Pertamina dan Chevron, untuk mengembangkan panas bumi melalui Keppres No. 22/1981. Untuk mengembangkan panas bumi, tentunya kami harus membangun instalasi, seperti sumur-sumur panas bumi, dan pipa. Berdasarkan kontrak operasional bersama (KOB), pemerintah memberikan luas wilayah kerja kami sebanyak 5.000 ha untuk mengembangkan 300 megawatt,” ungkap Ginting.
Hingga saat ini, katanya, di luas wilayah kerja yang 5.000 ha, pihaknya hanya membangun instalasi panas bumi sekitar 50 ha atau hanya 0,1 persen luas wilayah kerja. Selain itu, saat membangun pihaknya berusaha untuk menjaga kelestarian alam.
“Lima puluh hektare yang kami bangun termasuk pembangunan instalasi di wilayah Kab. Bandung. Perlu kami tegaskan pembangunan sumur panas bumi di Kertasari bukan bukaan hutan baru, tapi itu kawasan eksisting dari 5.000 ha yang menjadi wilayah kerja kami,” ujar Ginting.
Dikatakan, dari 5.000 ha wilayah kerja Chevron, di Kab. Bandung hanya sekitar 1.221 ha. Dari 1.221 ha itu, lahan yang digunakan untuk pembangunan sumur panas bumi hanya sekitar 1,83 ha. Saat ini, pihaknya sudah membangun tiga unit pembangkit panas bumi, dengan menghasilkan produksi listrik 271 megawatt. Jadi, Chevron masih akan terus mengembangkan panas bumi hingga mencapai produksi listrik 330 megawatt.
Ginting juga membantah tudingan warga sekitar Kertasari, karena pengembangan sumur panas bumi mengakibatkan kekurangan air resapan atau air permukaan. Sebab, pengeboran untuk menghasilkan uap panas bumi tidak akan mengganggu air permukaan, karena pengeborannya jauh lebih dalam.
Selain itu, pihaknya juga membantah jika perusahaannya tidak melakukan koordinasi dengan Pemkab Bandung. Pihaknya sudah bertemu dengan Bupati Bandung pada Juli 2011 membahas dana corporate social responsibility (CSR). Setelah itu, pihaknya juga berencana melakukan pembahasan kembali dengan pemkab, namun waktu tidak memungkinkan karena sedang puasa.
Perlu pendalaman
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Jabar, Hasan Zenal mengatakan, untuk menyelesaikan masalah ini perlu pendalaman yang menyeluruh dari berbagai aspek. Terkait dengan tudingan masyarakat yang menyatakan Chevron telah melanggar, karena melakukan pembangunan di hutan konservasi.
“Kita tidak mungkin menutup PT Chevron. Kita justru harus mendukung pengembangan panas bumi, apalagi kebutuhannya adalah untuk produksi listrik dan eksplorasinya juga lebih ramah lingkungan dibanding dengan geotermal lainnya. Kita juga paham bahwa untuk membangun instalasi pasti ada sesuatu yang harus dibangun,” katanya.
Namun, tambahnya, karena pembangunan di lahan konservasi atau hutan yang dilindungi, ada prosedur yang mengaturnya. Seperti building coverage ratio (BCR), ada batas toleransi untuk melakukan pembangunan di kawasan hutan.
“Berapa batas toleransi hutan yang bisa dibangun di luas kerja PT Chevron sekitar 5.000 ha. Aturan ini yang belum diketahui, karena Biro Hukum Kementerian Kehutanan yang kita undang belum bisa menjelaskan hal ini. Makanya, besok (hari ini, red) kita akan meninjau ke lapangan, dan besoknya lagi kita akan mendatangi Kementerian Kehutanan untuk mempertanyakan masalah ini,” ungkap Hasan.
Sebab itu, pihaknya belum bisa memberi rekomendasi terkait masalah ini. Perlu beberapa kali pertemuan lagi dengan beberapa pihak terkait. Selain itu, Komisi B juga meminta PT Chevron, termasuk Pertamina dan Pemprov Jabar yang diwakili Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk menjelaskan masalah ini kepada masyarakat agar tidak menjadi polemik.
“Kepada Chevron juga kita meminta untuk memperhatikan kesejahteran masyarakat sekitar pembangunan panas bumi dan tenaga kerjanya,” kata Hasan.
Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jabar, Thio Setiowekti mengatakan, pihaknya meminta DPRD dan pemprov jangan ragu untuk menutup pembangunan sumur panas bumi PT Chevron di Kab. Bandung. Sebab, pembangunan tersebut melanggar UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
“Dalam UU disebutkan kegiatan usaha pertambangan panas bumi tidak boleh dilakukan di cagar alam, tempat umum, dan pemakaman. Kami melihat Chevron keukeuh pada MoU dengan pemerintah, tapi ‘kan setelah itu ada UU 27. Masa UU kalah sama MoU,” tegasnya.
Kritikan Walhi
Kemarin sekitar pukul 10.00 WIB, belasan aktivitis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar mendatangi kantor DPRD Jabar. Mereka mengkritisi eksploitasi energi panas bumi. Walhi menegaskan, pemerintah selama ini selalu mengatakan, PLTP merupakan jawaban dari semua pembangkit tenaga listrik yang ada sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Namun proses eksplorasinya ternyata membawa dampak kerusakan lingkungan yang tak terkendali.
Pengurasan sumber daya alam dalam proyek PLTP sekitar 4.436 MW, yang mulai dilaksanakan pada Januari 2010, belum maksimal meningkatkan kesejahteraan rakyat Jabar. Khususnya masyarakat miskin yang jumlahnya mencapai 12 juta orang.
Sebagai contoh kasus, sebagian masyarakat di Garut, Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta, masih ada yang belum menikmati energi listrik untuk kehidupannya. (B.96)**
Diposkan oleh Akhsanul Amin di 16.49