Oleh Dr. Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H
Pekanbaru – Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa provinsi riau termasuk daerah yang memprihatinkan dalam pengelolaan SDA (sumber daya alam).
Hal ini terbukti bahwa, setidaknya sudah ada tiga mantan gubernur riau yang terjerat korupsi dan telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Walaupun telah ada tiga mantan gubernur yang menjadi pasien KPK, perbuatan korupsi terus berlanjut dan tidak kunjumg henti. Bahkan ada tiga orang bupati yang juga telah melakukan korupsi serta puluhan anggota dewan yang ada di riau yang terlibat korupsi.
Menurut data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) riau menempati posisi ke empat dari memproduksi koruptor. 10 orang dari pemerintahan provinsi dan 180 orang dari pemerintahan kabupaten/kota. Perjalanan korupsi ini terus berlanjut, setidaknya ada puluhan kepala desa dan pengusaha yang terjerat korupsi.
Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa riau memang salah satu tempat tumbuh dan berkembang biaknya korupsi. Mengapa ini bisa terjadi. Pertama, masih adanya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
Tebang pilih dalam pemberantasan korupsi mengakibatkan bahwa pelaku korupsi akan memainkan segala lini pertemanan dan kekuasaan untuk menutupi dan mengorbankan orang-orang yang dianggap tidak mempunyai kekuasaan.
Kedua, masih rendahnya tuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Ketiga, kurang seriusnya penyidik tindak pidana korupsi dalam mengusut tindak pidana korupsi. Keempat, minimnya pidana denda dan pidana kurungan yang ditetapkan oleh hakim.
Walaupun terdapat beberapa persoalan pemberantasan korupsi di riau, ternyata Polda Riau dan Kejati Riau “mendapatkan hadiah” dari APBD Provinsi riau yaitu pembangunan gedung baru kedua institusi tersebut. Hadiah dari uang rakyat ini sebenarnya harus dimaksimalkan oleh polda riau dan kejati riau untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi.
Pemaksimalan pemberantasan korupsi ini perlu dilakukan oleh polda riau dan kejati riau mengingat riau sudah menuju darurat korupsi. Tidak hanya gubernur bahkan kepala desa pun sudah banyak yang menjadi narapidana korupsi.
Untuk itu, rakyat riau sebenarnya menginginkan bahwa ada keseriusan dalam pemberantasan korupsi dan pencegahan korupsi.
Dalam aspek pemberantasan korupsi, polda riau dan kejati riau sebaiknya memetakan jenis-jenis korupsi yang banyak terjadi di riau. Kedua, memberikan informasi yang dapat diakses melalui website oleh masyarakat terkait perkembangan pemberantasan korupsi, baik itu ditahap penyelidikan ataupun di penyidikan dengan menyertakan alasan mengapa berbagai kasus tidak kunjung sampai ke pengadilan.
Memberdayakan undang-undang pencucian uang untuk melacak aset terduga koruptor dan koruptor untuk dirampas.
Dibidang pencegahan, polda riau dan kejati riau sebaiknya melakukan kegiatan rutin ke berbagai institusi publik dan korporasi untuk memberikan seminar-seminar ataupun diskusi publik dengan menyertakan akademisi dan tokoh masyarakat untuk mencegah perbuatan korupsi. Kedua, menggandeng akademisi/dosen untuk melakukan kajian-kajian akademik untuk memetakan potensi-potensi korupsi yang terjadi di sektor publik dan korupsi. Ketiga, Menggandeng semua LSM dan media untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi.
Kedepan, dengan tidak meninggalkan pemberantasan korupsi dibidang keuangan negara/daerah.
Sebaiknya polda riau atau kejati riau masuk ke pemberantasan korupsi sektor sumber daya alam. Mengingat potensi dugaan korupsi di bidang sumber daya alam ini sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut KPK diperlukan suap Rp. 22 Milliar untuk satu perizinan. Itu hanya perizinan, belum lagi kurang efektifnya pengawasan serta kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan usaha korporasi.
Untuk itu, tindakan darurat yang harus dilakukan oleh penyidik tipikor polda atau kejati riau adalah mengutamakan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor sumber daya alam.***