Pekanbaru – Seribu advokat akan mendatangi polda riau, begitu rilis yang penulis terima dari salah satu advokat yang mendatangi Polda Riau.
Advokat-advokat tersebut datang ke Polda Riau menuntut agar pengusutan terhadap penganiayaan satu keluarga yang terjadi pada Tahun 2013 di Kabupaten Rokan Hilir Riau segera dituntaskan.
Advokat-Advokat tersebut kesal dan mwnyayangkan, penganiayaan yang tergolong sangat sadis dan keji terjadi di bumi lancang kuning telah terjadi terhadap di keluarga Rajiman.
Rajiman sang suami menderita 25 tusukan, kepala dibacok, lehernya di bor menggunakan pisau, sedangkan istri Rajiman tangannya dibacok, serta kepala dan badannya dipukul dan celakanya tidak sampai disana setelah pelaku menganiaya Rajiman dan Istrinya, pelaku kemudian menganiaya anak rajiman yang sampai sekarang tidak bisa makan lewat mulut karena dianiaya oleh pelaku.
Sebenarnya dari kronologis diatas, perkara tersebut tidak hanya perkara penganiayaan sebagaimana tertuang dalam kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP), tetapi juga melanggar beberapa peraturan perundang-undangan pidana lainnya, seperti perlindungan terhadap anak, perlindungan terhadap perempuan, hak asasi manusia, konvensi internasional perlindungan anak dan perempuan serta konvensi internasional anti penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998.
Banyaknya berbagai peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh pelaku mengisyaratkan bahwa perbuatan pelaku sudah sangat bertentangan dengan kemanusian. hal ini seharusnya menjadi perhatian serius Polda Riau sejak awal tetapi mengapa ini bisa terjadi.
Brian Z. Tamanaha mengatakan bahwa setiap kasus biasanya jatuh ke dua kategori. Kasus-kasus yang melibatkan kesenjangan, konflik atau imbiguitas dalam hukum dan kedua kasus-kasus aturan hukum yang buruk atau hasil yang buruk.
Melihat apa yang dikatakan oleh Tamanaha tersebut, sepertinya kasus diatas termasuk kedalam hasil yang buruk. Hasil yang buruk tersebut terlihat bahwa pelaku hingga sekarang belum diadili dan masih berstatus sebagai tersangka dan diduga pelaku utama sebagai oknum anggota dewan tidak tersentuh oleh hukum.
Dalam penegakan hukum tidak tersentuhnya pelaku atau tidak dibawa sampai ke pengadilan dan di vonis bersalah karena berbagai persoalan.
Persoalan-persoalan yang sering muncul adalah ketika kepastian dan keadilan dihadapkan dalam suatu kasus. Widodo Dwi Putro mengatakan bahwa apabila keadilan diidentikkan dengan hukum positif mengandung konsekuensi pencarian keadilan dibatasi dan terbatas hanya pada rumusan hukum positif.
Meski mungkin saja keadilan bisa didekati dari apa yang legal-formal, keadilan tidak bisa direduksi pada hukum positif. Karena begitu keadilan direduksi hanya pada hukum pisitif, maka pencarian keadilan diluar tatanan hukum positif akan dihentikan.
Lebih lanjut Widodo mengatakan bahwa keadilan itu tidak terbatas pada sesuatu yang dianggap pasti. Tetapi keadilan itu harus dibuka terus agar kasus-kasus yang menjadi perhatian dapat segera diselesaikan. Memang dalam wilayah penegakan hukum pencarian keadilan dan penegakan hukum akan banyak mengalami kendala-kendala dalam penuntasan kasus-kasus hukum yang cukup rumit.
Terlebih apabila pelaku melarikan diri dan pelaku cukup susah untuk disentuh oleh hukum. Namun demikian penulis tidak begitu percaya bahwa terhadap kasus-kasus sulit penegak hukum tidak mampu menyelesaikannya. Ini hanya persoalan keseriusan penegak hukum untuk segera menuntaskannya.
Persoalan kasus diatas sebenarnya dapat dengan cepat diselesaikan apabila kasus-kasus tersebut dengan cepat pihak polsek dan polres Rohil melimpahkan perkara tersebut ke Polda Riau atau Polda Riau mengambil alih perkara tersebut.
Terhadap kasus diatas, Riau bersedih terhadap “perkara kemanusiaan” tersebut, terlebih perkara ini akan memasuki ulang tahun keenam. Tetapi tetap saja belum tuntas. Wajar banyak advokat datang ke Polda Riau untuk mendesak Polda Riau untuk menuntaskan kasus ini.
Dalam tataran sosiologi penegakan hukum, tidak selesainya kasus diatas mencerminkan adanya ketidakadilan untuk “rakyat miskin”. Untuk itu, Kasus diatas merupakan ujian kemanusian bagi kapolda Riau untuk mengusut perkara diatas dengan cepat dan tuntas. Semoga!!
Penulis: Dr. Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.***