Sumatratimes.com — KPU menerbitkan PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PKPU No.3/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, 6 Desember 2019.
Salah satu isinya yang menjadi sorotan, KPU tegas terhadap mantan narapidana narkoba dan kejahatan seksual anak. Kedua mantan napi kategori ini dilarang mencalonkan di Pilkada. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 Huruf H.
Bunyinya, ‘Bukan Mantan Terpidana bandar narkoba dan bukan Mantan Terpidana kejahatan seksual terhadap anak.’
Namun untuk mantan napi korupsi, KPU hanya mengimbau. Dalam PKPU itu, diimbau bagi partai politik untuk mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi. Aturan itu dituangkan dalam Pasal 3A ayat (3) dan (4).
Bunyinya, ‘Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.’
Hal ini mendapatkan kritik dari Gerindra. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Kammrusammad mengkritik langkah KPU yang tidak memasukkan aturan larangan mantan terpidana kasus korupsi maju pada pemilihan kepala daerah dalam PKPU.
“Ini merupakan kegagalan KPU dalam mendorong regulasi yang lebih baik,” kata Kammrussamad dikutip dari Antara, Minggu (8/12).
Pasal 3A Ayat (3) disebutkan bahwa dalam seleksi bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Dalam Pasal 3A Ayat (4) disebutkan bahwa bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Apabila larangan narapidana korupsi tidak dimasukkan dalam PKPU, menurut Kammrussamad, masyarakat makin tidak percaya terhadap kualitas demokrasi dalam melahirkan pemimpin berintegritas.
Menurut dia, seharusnya KPU berjuang sungguh-sungguh untuk memasukkan aturan larangan mantan narapidana korupsi maju dalam pilkada karena beberapa sebab, yakni pertama, sanksi sosial yang diharapkan menimbulkan efek jera.
“Fakta kepala daerah terjerat korupsi meningkat dari sembilan kepala daerah pada tahun 2017 menjadi 20 kepala daerah pada tahun 2018,” ujarnya.
Kedua, lanjut dia, perlu ada terobosan hukum untuk melahirkan pemimpin berintegritas. Hal itu diperlukan dukungan ‘stakeholder’ hukum nasional.
Dia menyebut alasan ketiga, apabila aturan larangan tersebut diberlakukan, merupakan kemajuan dalam membangun ekosistem politik berintegritas.
Seperti diketahui, KPU pernah melarang mantan napi korupsi untuk ikut Pemilu dalam PKPU. Namun aturan itu digugat hingga ke tingkat MA. MA mengabulkan gugatan, KPU kalah, aturan dibatalkan.
KPU pun tengah berupaya memasukkan aturan tersebut di tingkat Undang-Undang. KPU telah bicarakan hal ini kepada Komisi II DPR dan Presiden Jokowi.
“Kami juga menyampaikan rancangan PKPU yang salah satunya masih mengusulkan larangan pencalonan terhadap mantan terpidana korupsi. Kami juga menyampaikan terkait hal tersebut,” ungkap Ketua KPU Arief Budiman usai bertemu Jokowi di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (11/11).
Pihaknya pun berharap hal tersebut masuk dalam UU Pilkada dan UU Pemilu. Sebab, kata Arief, walaupun MA sudah menolak, tetapi mereka akan mengkaji kembali sebab yakin dengan novum baru dan fakta baru yang akan jadi argumentasi.
“Ada argumentasi, kalau sudah ditahan dia sudah menjalani kan sudah selesai, sudah tobat, tidak akan terjadi lagi tetapi faktanya di Kudus itu kemudian, sudah pernah ditahan, sudah bebas, nyalon lagi, terpilih, korupsi lagi atas dasar dua fakta ini yang kami menyebutkan sebagai novum ini, maka kami mengusulkan ini tetap diatur di pemilihan kepala daerah,” kata Arief.
Kemudian, terkait harapannya tersebut, Arief pun menyerahkannya kepada Mantan Gubernur DKI Jakarta. Lalu dia juga menjelaskan nantinya akan membahas kembali dengan pihak DPR.
“Kalau tadi Bapak Presiden merespons bagaimana, saya pikir ditanyakan kepada pak presiden saja. Tapi siang ini kita masih melakukan pembahasan lagi di DPR dan pemerintah di Komisi II,” ungkap Arief. (sumber : Merdeka.com)
Redaksi : Amran